Senin, 13 September 2010

Pengembangan Pertanian Hendaknya memiliki kesamaan cara Pandang

                Untuk mengembangkan pertanian menuju sistem pertanian berkelanjutan yang berorientasi pasar dan ramah lingkungan, maka diperlukan upaya-upaya berupa Reformulasi Paradigma Pengembangan Pertanian dan Restrukturisasi (menata kembali) Kelembagaan Pertanian. Reformulasi Paradigma Pengembangan Pertanian merupakan proses yang bertujuan agar semua pemangku kepentingan (stakeholders) di bidang pertanian memiliki kesatuan atau kesamaan dalam pola pikir dan cara pandang tentang pengembangan pertanian ke depan.
“Kemudian, kesamaan paradigma tersebut direalisasikan melalui strukturisasi atau penataan kembali kelembagaan pertanian di tingkat pusat dan daerah menjadi satu kesatuan sistem pertanian yang saling terkait dan saling mendukung,” ungkap Prof. Dr. Ir. Dwidjono Hadi Darwanto, SU, Senin (14/4) di ruang Balai Senat UGM.
Menurutnya, belajar dari keberhasilan dan kegagalan pengembangan pertanian di masa lalu, maka diperlukan soliditas sistem pertanian dan program pembangunan pertanian untuk pembangunan pertanian ke depan. Oleh karena itu, perlu dilakukan reformulasi pola pikir atau paradigma pengembangan pertanian yang berlandaskan pada falsafah bernegara, yaitu Persatuan dan Kesatuan.
“Pada intinya, sektor pertanian seharusnya diperlakukan sebagai satu kesatuan sistem yang utuh dan kokoh dengan sub-sistem yang tidak terpisahkan. Secara harafiah dapat diartikan bahwa pengembangan pertanian ke depan hendaknya tidak lagi bersifat parsial, karena pertanian merupakan satu kesatuan sistem yang meliputi sub-sistem hulu, on-farm dan hilir,” ucap Prof Dwidjono, saat dikukuhkan sebagai Guru Besar Fakultas Pertanian UGM.
Untuk itu, katanya, diperlukan penyusunan rancangan Kebijakan Ekonomi Nasional yang integratif untuk mendukung pengembangan pertanian di masa depan. Kebijakan di sub-sistem hulu, seperti pengembangan industri input pertanian dan bidang pertanahan hedaknya mendukung upaya pengembangan produksi pertanian domestik.
Kebijakan pembangunan pertanian sendiri, kata Prof. Dwidjono, hendaknya berorientasi pada peningkatan kuantitas dan kualitas produk yang dapat memenuhi kebutuhan agroindustri dan agroniaga, dengan memperhatikan upaya perbaikan lingkungan pendukung usaha pertanian. “Kebijakan pengembangan agro-industri dan agro-niaga hendaknya pula lebih dititik-beratkan pada upaya pemenuhan kebutuhan domestik dan sekaligus mampu mensubstitusi produk primer dan olahan dari impor,” tambah Kepala Laboratorium Pengkajian Kebijakan Pangan dan Pertanian, Faperta UGM ini.
Dalam pidato “Pengembangan Pertanian Menuju Sistem Pertanian Berkelanjutan Yang Berorientasi Pasar Dan Ramah Lingkungan”, Asisten Pengelola MMA UGM inipun mengatakan perlu dihindari adanya kebijakan yang bersifat “dis-incentive” bagi pengembangan sistem pertanian maupun petani sebagai pelaku usahatani. Sebagai contoh, kebijakan pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan ketersediaan beras nasional dengan impor ternyata berdampak pada penurunan kesejahteraan petani.
“Dari analisis empiris periode 1982-2003 dapat ditunjukkan bahwa peningkatan kontribusi impor beras pada pertumbuhan ketersediaan beras nasional dari 13% sebelum krisis menjadi 45% setelah krisis, ternyata siring dengan penurunan indeks kesejahteraan petani padi dari 13% menjadi 0,8%. Bagi kepentingan pemerintah impor beras memang menguntungkan karena secara nominal biaya impor beras relatif lebih rendah dari biaya pengadaan produksi domestik,” tukas pria kelahiran jakarta 12 Maret 1956 ini. (Humas UGM).                  


Senin, 06 September 2010

Petani Makin Miskin. Produksi Naik, Pendapatan Riil Tidak Meningkat

Pendapatan riil petani tidak juga meningkat meski produksi pangan terus meningkat. Padahal, setiap tahun, 25 juta rumah tangga petani memproduksi pangan, meliputi padi, jagung, kedelai, ubi kayu, dan ubi jalar, yang nilainya Rp 258,2 triliun.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, nilai tukar petani terus merosot. Pada tahun 1976, nilai tukar petani 113, pada 1979 dan 1989 bahkan mencapai angka tertinggi, yakni 117. Namun, pada 1993 merosot menjadi 95 dan tahun 2009 nilai tukar petani bulanan tertinggi hanya 101.
Penguasaan lahan petani juga makin sempit. Jumlah petani yang berubah status menjadi buruh tani pun makin banyak karena tidak lagi memiliki lahan sendiri.
Sumitra (62), petani Desa Baiawak, Kecamatan Kertajati, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, misalnya, kini menggarap lahan yang disewanya. Lahan pertanian seluas 0,5 hektar yang pernah dimilikinya telah terjual.
”Sewa lahan terus naik, belum lagi biaya pupuk, obat, upah buruh, dan bayar pompa. Boro-boro beli barang, bisa makan cukup dan tak punya utang saja sudah sangat bersyukur,” katanya, akhir pekan lalu di Majalengka.
Jumlah petani gurem atau dengan kepemilikan lahan kurang dari 0,5 hektar pada sensus pertanian tahun 1993 mencapai 10,69 juta rumah tangga petani. Namun, setahun kemudian, jumlahnya naik 2,6 juta rumah tangga petani menjadi 13,29 juta rumah tangga petani.
Menurut Guru Besar Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor Endriatmo Soetarto, jumlah petani yang ”lapar” akan tanah makin banyak. Di Mahkamah Agung saat ini ada sekitar 7.000 kasus agraria.
Untuk itu, harus diberikan akses terhadap lahan kepada petani melalui implementasi reforma agraria. Untuk memberikan jaminan lahan sebagai sumber kesejahteraan petani, kata Endriatmo, perlu dukungan keuangan, teknologi, dan pendampingan agar petani tahu bagaimana memanfaatkan tanah untuk kesejahteraan mereka sehingga tidak berpindah ke pemilik modal.
Endriatmo meyakini, pemberian akses lahan bagi petani disertai dukungan pengelolaan akan signifikan meningkatkan kesejahteraan petani.
Menurut Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian sekaligus Guru Besar Ekonomi Pertanian Universitas Jember Rudi Wibowo, peningkatan produksi pangan tidak mampu memberikan peningkatan pendapatan riil yang memadai bagi aktor utama peningkatan produksi pangan, yaitu petani.
Ini karena kebijakan pangan nasional terjebak dalam peningkatan produksi yang membabi buta. Peluang investasi usaha budidaya pangan diberikan kepada swasta nasional dan multinasional, yang selama ini menggarap sarana produksi yang menjadi kunci penguasaan pangan nasional.
Rudi menegaskan, kesejahteraan petani terabaikan akibat ketidakjelasan arah pengembangan teknologi dan tidak konsistennya kebijakan. Sementara itu, kelembagaan yang berkenaan dengan petani dan pertanian cenderung makin tergerus.
Guru Besar Emeritus Institut Pertanian Bogor, Bungaran Saragih, dalam bukunya Agribisnis, Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian, menyebutkan, politik pertanian pada masa lalu yang berorientasi pada peningkatan produksi ”menjebak” petani pada kegiatan usaha tani yang nilai tambahnya kecil.
Sementara itu, kegiatan ekonomi yang memiliki nilai tambah besar, seperti perdagangan, pengadaan sarana produksi pertanian, serta kegiatan pengolahan hasil dan perdagangan produk pertanian (off farm) diserahkan kepada yang bukan petani.
Struktur usaha tani yang disparsial, asimetris, dan cenderung terdistorsi menimbulkan masalah transmisi, seperti transmisi harga tidak simetris.
Penurunan harga di tingkat konsumen langsung ditransmisikan dengan cepat dan sempurna ke petani. Namun, kenaikan harga ditransmisikan secara lambat dan tidak sempurna ke petani.
Persoalan lain yang juga mesti dihadapi petani adalah mudah rusaknya komoditas pertanian. Akibatnya, petani ”mudah menyerah” pada kehendak pedagang, terutama soal harga semata agar produknya segera terjual sebelum rusak. Ini yang membuat pendapatan petani tak juga meningkat secara riil.
Riset Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama Kabupaten Jombang di 21 kecamatan menyebutkan, petani tak punya daya tawar. Penyediaan sarana dan harga hasil panen ditentukan oleh pemilik modal (pedagang).
Dengan kata lain, semakin tinggi produktivitas petani, semakin tinggi nilai tambah yang diterima pelaku dan kegiatan usaha di luar usaha tani.
Kebijakan elitis
Ketimpangan keadaan itu, menurut Guru Besar Sosial Ekonomi Industri Pertanian Universitas Gadjah Mada M Maksum, karena kebijakan pertanian pada umumnya ditentukan sangat elitis.
Petani, kata Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan Winarno Tohir, masih sulit mengakses permodalan dan belum mendapat dukungan teknologi pascapanen yang memadai.
Hal itu pula yang dihadapi petani di Jombang. Panen musim hujan tahun ini, menurut Wakil Kepala Bulog Subdivre Surabaya Selatan Awaludin Iqbal, sebanyak 417 ton dari 825 ton beras petani tak memenuhi syarat. Jumlah ini dua kali lipat dibandingkan dengan tahun 2009.
Hal ini antara lain karena penanganan pascapanen yang kurang baik akibat tidak adanya sarana dan prasaran pascapanen yang memadai. ”Saya jual saja gabah yang masih agak basah ke tengkulak Rp 1.900 per kilogram, yang penting ada yang beli,” kata Siman, petani Desa Miyagan, Kecamatan Mojoagung, Jombang.
Padahal, Bulog membeli gabah kering panen di tingkat petani Rp 2.640 per kilogram, dengan kadar air maksimum 25 persen dan hampa 20 persen.
Menguntungkan industri
Rencana pemerintah mengembangkan kawasan pangan (food estate) juga tidak menjamin peningkatan kesejahteraan petani. Menurut
Guru Besar Teknologi Industri Pertanian IPB E Gumbira Said, pengembangan usaha budidaya oleh pengusaha, seperti food estate, hanya menguntungkan industri besar dan perolehan devisa negara. Tidak berimbas nyata ke petani.
Rudi menegaskan, terkait pengembangan kawasan pangan, pemerintah perlu mempertimbangkan keberadaan petani.
”Kemitraan mutualistik antara petani dan badan usaha milik negara atau daerah lebih ideal. Jika tidak, peminggiran peran petani akan terjadi secara perlahan,” katanya.
Menurut Rudi, perlu dukungan kebijakan makro, baik moneter maupun fiskal, untuk mendorong dan melindungi pertanian. Hal itu terutama berupa kebijakan yang mendorong keterkaitan antara urban dan rural area melalui kegiatan produktif sektor usaha mikro kecil dan menengah.
”Ini penting tidak saja untuk mendorong pengembangan agribisnis dan kemandirian pangan, tetapi sekaligus mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran,” ujar Rudi.
Peningkatan pengeluaran pemerintah, menurut Rudi, seharusnya tidak hanya difokuskan pada peningkatan total permintaan, tetapi juga untuk meningkatkan total suplai, seperti pengembangan infrastruktur pedesaan, jaringan irigasi, pasar produk pertanian, meningkatkan peran penelitian dan pengembangan, serta reforma agraria. (MAS/THT/SIN) Kompas, Senin, 26 April 2010
 NASIB PETANI. Adim Pun “Terjajah” di Lahan Sendiri
Oleh Edi Wisra
Puluhan tahun membanting tulang di sawah, nasib Adim (72) tak kunjung membaik. Hasil panen semakin tidak mencukupi kebutuhan hidup. Satu bahu (500 bata, 1 bata > 14 meter persegi) lahan warisan orangtua bertahan, tetapi tidak dengan kesejahteraan Adim dan keluarganya.
Tubuh Adim yang mulai sakit-sakitan harus dipaksa menjalani rutinitas pascapanen, menjemur padi. Dalam terik siang di jalan antardesa di Desa Sukamekar, Kecamatan Jatisari, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, Jumat (23/4), Adim jongkok di atas selembar terpal biru meratakan gabah dengan tangan.
Gabah itu sisa panen musim ini. Hampir 90 persen dari sekitar 5 ton gabah kering panen (GKP) hasil panennya terjual kepada tengkulak seharga Rp 2.550 per kilogram GKP. Dari sekitar 0,5 ton sisa panen itu, Adim dan Imi (65), istrinya, memenuhi kebutuhan pangan hingga panen musim depan.
Secara matematis, dengan gabah terjual 4,5 ton GKP dan harga Rp 2.550 per kg, Adim seharusnya mengantongi pendapatan Rp 11,4 juta pada musim ini. Namun, sekitar Rp 3,3 juta di antaranya telah dibayarkan ke kios dan rentenir untuk menutup utang pupuk, pestisida, dan ongkos bajak. Uang Rp 3 juta lainnya digunakannya untuk berobat ke rumah sakit. Sisanya, Rp 5,1 juta, ia cadangkan untuk modal tanam dan simpanan keluarga.
Akan tetapi, tidak mudah bagi Adim mengatur sisa uangnya hingga empat bulan ke depan. Hidup serumah dengan keluarga putra pertamanya, Imin (38), Adim harus berbagi pendapatan untuk memenuhi kebutuhan sekolah cucu, kebutuhan dapur setiap hari, dan berbagai keperluan lain. Seperti musim-musim sebelumnya, sisa uang sering kali tak mencukupi.
Tidak seperti dulu
Sejak tahun 1970-an, Adim mengelola 1 bahu (sekitar 7.000 meter persegi) sawah warisan orangtuanya, almarhum Salim dan Kainem. Pada tahun 1980-an, ia memiliki keuntungan dari bertani dan mampu membeli sawah 0,5 bahu. Luas itu bertahan hingga kini.
”Tidak seperti dulu, hasil panen sekarang jangankan untuk membeli sawah lagi, untuk membayar utang modal dan memenuhi kebutuhan sehari-hari saja tak cukup. Pupuk, obat, ongkos olah lahan dan tanam semakin mahal saja,” ujarnya.
Selain membeli sawah, kenang Adim, ia terkadang membeli perhiasan bagi Imi seusai panen. ”Dulu (tahun 1980-an), 0,5 kuintal gabah dapat ditukar dengan 1 gram emas, sekarang butuh 1 kuintal gabah lebih (asumsi harga emas saat ini Rp 320.000 per gram),” tutur Imi.
Kenaikan harga pupuk per 9 April 2010 memaksa Adim berpikir untuk meminjam modal lagi. Sebab, sisa pendapatan telah ia cadangkan untuk kebutuhan sehari-hari. Seperti musim-musim sebelumnya, ia akan membayar utangnya setelah panen.
”Dulu mengolah sawah dengan cangkul dan bajak kerbau, memupuk dengan kotoran dari kandang dan sisa daun dari kebun, serta tidak perlu membeli pestisida sehingga ongkos tanam murah. Sekarang, apa-apa harus dengan uang, jadinya repot kalau modal terbatas,” kata Adim.
Adim sedikitnya harus mengeluarkan dana Rp 1,5 juta pada awal musim, antara lain Rp 500.000 untuk menyewa traktor, Rp 500.000 untuk membayar upah buruh tanam, dan Rp 500.000 untuk pemupukan pertama. Selebihnya, ia membutuhkan modal untuk pemupukan kedua dan membeli pestisida hingga masa panen tiba.
Meski punya lahan sendiri, Adim nyatanya belum ”merdeka”. Berada di posisi sebagai produsen pangan, nasib Adim tetap saja miskin. Jika kebutuhan hidup keluarganya terus mendesaknya, bukan tidak mungkin Adim menempuh jurus terakhir, menjual lahan!
Jalan terakhir ini sudah ditempuh beberapa petani tetangganya di Kampung Kalenjeruk, Desa Sukamekar, yang terpaksa menjual sawah untuk biaya sekolah anak, berobat, dan memenuhi kebutuhan lain.
Sawah-sawah di sekitar Adim kini tak lagi milik warga desa. Sebagian telah beralih ke pemodal yang tinggal di Bekasi, Bandung, atau Jakarta. Beberapa warga desanya kini menjadi kuli di bekas lahannya sendiri. Mereka menanam padi dengan sistem maro (bagi hasil) atau sewa.
Dengan ongkos produksi yang terus naik dan keuntungan yang semakin kecil porsinya dibandingkan dengan modal, Adim seperti terjajah di lahannya sendiri. Ia terbelenggu oleh harga-harga kebutuhan hidup.  Kompas, Senin, 26 April 2010
Hati Nurani untuk Petani
Oleh Eidi Wisra
Empat hari berturut-turut (19-22/4) harian ini bersimpati pada para petani gurem (peasants, bukan farmers). Empati mendalam juga dituliskan di tajuk rencananya (20/4). Hal ini wajar karena umumnya para petani kita miskin meskipun mereka rajin dan bekerja sangat keras. Kerja mereka di sawah 10 sampai 20 kali lebih berat dibandingkan dengan rekannya di ladang gandum.
Diperkirakan beban seorang petani padi di Asia sekitar 3.000 jam kerja setiap tahunnya (Gladwell, 2009). Dalam buku Outliers, Gladwell menulis, tidak seorang pun yang bangun sebelum subuh selama 360 hari dalam setahun gagal membuat keluarganya kaya. Lalu, bagaimana petani kita? Meskipun telah memberi makan penduduk Indonesia dan bekerja sama kerasnya seperti saudaranya di Asia, mereka tetap saja miskin.
Mengapa demikian? Menurut Mohammad Yunus, pemenang Nobel Ekonomi (2006), mereka miskin karena tidak memperoleh hak sesungguhnya atas hasil kerjanya. Kemiskinan terjadi karena tidak diatasi dengan benar. Kemiskinan sering terjadi karena kita gagal menciptakan kerangka kerja teoretis, lembaga, dan kebijakan untuk mendukung kemampuan manusia. Mereka juga miskin karena tidak memiliki modal apa pun kecuali tenaganya.
Tidak ada yang memberi mereka akses tambahan modal, lahan, pengetahuan, kredit, dan pasar. Bung Hatta dan Bung Karno juga menyatakan hal senada soal kemiskinan. Kemiskinan yang masif jumlahnya besar dan sulit diatasi dalam suatu negeri yang kaya sumber alamnya hanya bisa terjadi karena kesalahan sistem ekonomi, politik, dan hukum (termasuk pembiaran korupsi).
Memiskinkan petani
Luasan lahan kecil dan kualitas sumber daya manusia (SDM) rendah tidak boleh dijadikan dalih untuk terus membiarkan petani miskin. Justru karena kondisi itulah negara Indonesia didirikan, pemerintahan dipilih, dan kementerian dibentuk. Meskipun mereka berlahan sempit, tetap harus hidup layak. Seperti diulas Gladwell, desa di China berpenduduk 1.500 orang bisa menghidupi dirinya dengan lahan seluas hanya 180 hektar (1.200 meter per kapita atau 0,3 hektar per keluarga, ekuivalen dengan lahan petani di Pulau Jawa).
Mengapa negara lain bisa memakmurkan petaninya? Petani makmur karena tugas petani dan keluarganya hanya bertani. Pemerintah membangun jalan raya dan jalan desa, menyediakan benih terbaik, pupuk dan pestisida/herbisida yang cocok, irigasi yang tidak pernah kering, kredit berbunga rendah, mesin pertanian yang murah dan bisa dicicil. Selain itu, pemerintah juga menjamin kegagalan panen dengan asuransi, harga jual yang menguntungkan dan membatasi pasar dalam negerinya dari produk asing.
Intinya, petani dan pertanian dilindungi dan tidak diserahkan pada mekanisme pasar bebas yang sering tidak bisa dikendalikan. Bahkan, di negara tertentu, petani bisa menikmati rumah, listrik, air bersih murah, serta pendidikan terbaik yang benar-benar gratis dan dekat permukimannya. Ada keberpihakan, ada pembelaan, ada kebijakan, dan ada hati nurani untuk petaninya.
Hal itu dilakukan bukan karena pemerintah kasihan kepada para petaninya. Ketersediaan pangan (food), pakan (feed), sandang-papan (fibre), bahan bakar (fuel), serta bahan obat yang berkesinambungan dari petani itu sangat penting untuk menjamin kualitas (jiwa, raga, dan kecerdasan) penduduk dan generasi mendatang. Dengan kebijakan yang tepat, kebutuhan pangan, sandang, papan, bahan bakar, dan obat-obatan dapat dihasilkan oleh petani dengan harga sangat bersaing.
Saat ini disadari atau tidak petani kurang diperhatikan. Nilai tukar petani kita cenderung makin turun. Hal ini disebabkan harga hasil pertanian serta perikanan primer, seperti padi, jagung, tebu, kedelai, singkong, telur, susu, ayam, tandan buah sawit, biji cokelat, teh, kopi, cengkeh, tembakau, sayur, buah, dan garam rendah (bahkan komoditas beras dan gula harganya dibuat rendah untuk menjaga inflasi). Harga hasil industri (minyak goreng, mi, tempe, tahu, kecap, pupuk, traktor, benih, pestisida, listrik, emas, sepeda motor, mobil, barang elektronik, solar, bensin, dan gas) dibiarkan berpatokan pada nilai dollar Amerika Serikat. Ketika rupiah melemah, harga hasil industri naik dan petani semakin miskin. Dibandingkan dengan tahun 1995 (saat nilai tukar rupiah Rp 1.800 per dollar AS), petani dan rakyat Indonesia tahun 2010 (nilai tukar rupiah Rp 9.000 per dollar AS) telah mengalami proses pemiskinan lima kali lipat.
Infrastruktur pertanian dan pedesaan (jalan, jembatan, pelabuhan, irigasi, listrik, dan telekomunikasi) yang buruk juga menjadi penyebab rendahnya daya saing petani. Hasil pertanian menjadi mahal dan tidak kompetitif. Demikian juga lembaga pembiayaan bank dan nonbank yang tidak efisien (bunga pinjaman lebih dari 15 persen, sementara bank di negara lain kurang dari 6 persen) harus dibiayai petani. Selain bunganya mahal, petani (40 persen dari penduduk Indonesia) sulit mendapat kredit (kurang dari 10 persen dari seluruh kredit yang disalurkan).
Paradoks
Kebijakan perdagangan internasional yang tidak adil sering merugikan petani. Buah, sayur, dan daging impor berkualitas rendah serta tidak layak makan (tidak halal, residu obat, dan pestisida tinggi) sering dibiarkan masuk ke pasar, supermarket, dan ke desa. Pemerintah tidak berani melindungi petani dengan menaikkan bea impor (meskipun Organisasi Perdagangan Dunia/WTO mengizinkan) dan melarang impor hasil pertanian yang menurut ketentuan tidak boleh masuk.
Sebaliknya, pemerintah justru menetapkan bea ekspor (biji kakao) yang merugikan petani. Kebijakan lahan dan investasi juga lebih memihak pengusaha besar dan asing. Ketika petani menganggur, kesulitan modal dan lahan, pemerintah justru membuka investasi asing berproduksi pangan dan menyediakan lahan untuk food estate. Paradoks ini berpotensi menimbulkan pengangguran baru dan pemiskinan petani.
Munculnya rancangan peraturan (pendaftaran usaha tani) yang mengabaikan petani kecil, tetapi menguntungkan perusahaan besar dan asing telah menimbulkan protes dari berbagai kalangan. Kini sudah saatnya pemerintah kembali memenuhi janji yang dilontarkan lebih dari lima tahun lalu dan selalu didengungkan.
Janji itu adalah pro poor (menurunkan jumlah orang miskin), pro job (membuka lapangan kerja), dan pro growth (meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas). Seperti kata Joseph Stiglitz (pemenang Nobel Ekonomi 2001), pembangunan bukan hanya membantu sekelompok orang menjadi lebih kaya atau hanya menguntungkan kalangan elitenya.
Pembangunan bukanlah memasukkan Prada, Benetton, Ralph Lauren, dan Louis Vuitton untuk masyarakat kaya di kota, sementara membiarkan kaum miskin di pedesaan menderita. Pembangunan adalah upaya mentransformasikan rakyat untuk meningkatkan kehidupan kaum miskin, membantu agar setiap orang bisa memiliki kesempatan berhasil, akses pelayanan kesehatan dan pendidikan yang lebih baik (Stiglitz, 2002).

Edi Wisra 
06 SEPTEMBER 2010

Selasa, 31 Agustus 2010

Krisis Resesi Ekonomi Global, Inflasi dan Pengaruh Terhadap Petani Sawit

Tuesday, 02 December 2008

Krisis Ekonomi Politik Indonesia Ditinjau Dari Sistem Perkebunan Skala Besar.

Disajikan oleh Badan Persiapan Pembentukan Nasional

Serikat Petani Kelapa Sawit (BPPN- SPKS)
Bagian Pertama

Krisis Ekonomi Politik Dilihat Dari Angka Inflasi

Rakyat Indonesia hingga hari ini selalu saja mendapat terpaan badai
penderitaan. Ditengah semakin tingginya angka penggaguran, PHK masal
dikalangan kelas buruh, pengusuran besar-besaran kaum pedagang kecil
perkotaan atas nama keindahan kota, kemiskinan dipedesaan karena semakin
hilangnya alat produksi dan ketersediaan alam yang semakin hari semakin
menyempit. Hal tersebut sudah lama diderita rakyat Indonesia tanpa pernah
berhenti, serangan sebelumnya adalah kenaikan harga-harga kebutuhan rakyat
yang ditandai dengan kenaikan BBM dunia yang mempengaruhi dan memaksa
pemerintah Indonesia harus merupah APBN -P yang berimplikasi terhadap
kenaikan harga BBM dalam negeri yang memicu semua harga kebutuhan pokok
rakyat turut meningkat. Pukulan yang terbaru adalah krisis ekonomi global
yang ditandai dengan krisis kredit perumahan (subprime mortgage)
mempengaruhi ekonomi di Amerika yang merupakan sentrum perekomomian dunia
menghantam semua sendi ekonomi dunia dan mendorong terjadinya inflasi
diberbagai belahan dunia termasuk Indonesia juga tidak terlepas dari terpaan
badai ini.

Apabila dilihat indikator permukaan makro ekonomi sebelum krisis global
terjadi, laporan BPS menyatakan bahwa angka inflasi bulan september berada
pada kisaran 0,51 persen, sedangkan untuk laju inflasi tahun kalender dari

Kondisi ini mengisyaratkan target pencapaian inflasi yang disepakti oleh
pemerintah dan BI yaitu target inflasi Januari-September 2008 sebesar
10,47%, sementara year on year sebesar 12,14 persen. Angka ini merupakan
laju inflasi paling tinggi pada 3 tahun terakhir. Hal tersebut dipicu karena
kenaikan harga-harga bahan pokok termasuk sewa perumahan. BPS mencatat
beberapa komoditas yang mengalami kenaikkan harga antara lain adalah bahan
bakar rumah tangga, ikan segar, daging ayam ras, daging sapi, telur ayam
ras, ikan diawetkan, tempe, beras, nasi dengan lauk dan banyak lagi termasuk
minyak goreng.pada tahun 2008 sebesar 5 persen dengan deviasi satu persen
dengan cacatan bahwa potensi inflasi sangat tinggi sehingga bersama DPR
mereka menyepakati angka 6,4 persen sebagai angka inflasinya sangat sulit
dicapai.

Inflasi merupakan potret peristiwa moneter yang menggambarkan kenaikan harga
barang, Dimana dalam hukum ekonomi tergambar posisi suplay dan demand
(persedian dan penawaran) yang selalu terjadi dalam sistem pasar. Inflasi
dapat diakibatkan oleh dua hal yaitu tarikan permintaan atau desakan biaya
produksi. Inflasi tarikan permintaan (demand pull inflation) terjadi akibat
adanya permintaan total yang berlebihan sehingga terjadi perubahan pada
tingkat harga. Bertambahnya permintaan terhadap barang dan jasa
mengakibatkan bertambahnya permintaan terhadap faktor-faktor produksi.
Meningkatnya permintaan terhadap faktor produksi itu kemudian menyebabkan
harga faktor produksi meningkat. Jadi, inflasi ini terjadi karena suatu
kenaikan dalam permintaan total sewaktu perekonomian yang bersangkutan dalam
situasi full employment. Yang kedua adalah Inflasi desakan biaya (cost push
inflation) terjadi akibat meningkatnya biaya produksi (input) sehingga
mengakibatkan harga produk-produk (output) yang dihasilkan ikut naik.

Kenaikan inflasi ini semakin menjelaskan ketimpangan ekonomi nasional yang
gagal mengurus penataan produksi nasional untuk memenuhi kebutuhan pokok
nasional dan semakin tingginya ketergantungan pada barang komoditas impor,
khususnya komoditas pangan internasional, disisi lain strategi eksport yang
dianut pemerintah tanpa berusaha memenuhi industri dan kebutuhan dalam
negeri menyebabkan penderitaan rakyat semakin nyata.

Seharusnya Inflasi harus menjadi perhatian utama karena merupakan potret
yang terjadi ditengah masyarakat. Semakin tinggi laju inflasi, maka semakin
rendah kesejahteraan masyarakat karena nilai setiap sen uang yang dipegang
orang terus menurun. Akibatnya daya beli melorot. Jadi, jika ekonomi dunia
meradang, orang miskin Indonesia pun bisa jadi semakin miskin.

Krisis Global Dan Pengaruh Terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Beberapa faktor kenaikan harga-harga kebutuhan pokok memang tidak bisa
dipisahkan dengan faktor resesi ekonomi dunia yang kian memburuk seiring
dengan krisis umum imprealisme[ 1]: kelesuan ekonomi Amerika Serikat yang
dipicu oleh krisis kredit perumahan (subprime mortgage); krisis finansial,
krisis energi [minyak, gas, batubara], ditandai dengan kenaikan harga minyak
di pasaran internasional yang telah menembus 117 US $/barel, namun
terkoreksi pada angka 82 US $ / barel pada bulan oktober 2008 akibat
permintaan terhadap minyak dunia menurun impas dari krisis yang terjadi di
Amerika. Walaupun demikian harga minyak dunia yang sempat melambung memaksa
berbagai sektor produksi ekonomi menaikkan ongkos produksinya dan tidak ikut
terkoreksi hingga hari ini. Sedangkan disisi lain imbas dari pemanasan
global telah menyerang lingkungan hidup bumi manusia, dengan cuaca buruk,
gelombang badai, banjir, longsor, telah memukul hampir semua produksi
pertanian dan kelancaran sistem transportasi dunia.

Segala sesuatu ada saling hubunganya, krisis ekonomi Amerika kemudian
menjadi krisis global yang berpengaruh pada sektor ril ditingkat lokal.
Karena centrum kekuatan akumulasi modal kapitalis berada di negara ini, AS
merupakan pasar eksport terbesar didunia termasuk pasar ekport Indonesia.
Coba tengok angka-angka ekspor nonmigas Indonesia ke AS selama ini yang
tercatat di Badan Pusat Statistik dan diolah kembali oleh Departemen
Perdagangan. Sekilas terlihat betapa produk Indonesia sangat bergantung pada
pasar Amerika karena ekspor Indonesia ke negara itu menduduki peringkat
kedua terbesar setelah Jepang.

Ekspor nonmigas Indonesia ke AS meningkat dari 7,17 miliar dollar AS pada
2002 menjadi 10,68 miliar dollar AS pada 2006 atau meningkat 11,74 persen.
Selama Januari-Agustus 2007, ekspor ke AS sudah mencapai US$ 7,48 miliar AS
atau meningkat 5,14 persen dari periode yang sama 2006.

Itu artinya, peran ekspor ke AS terhadap total ekspor nonmigas Indonesia
mencapai 12,45 persen, setingkat dibawah ekspor ke Jepang yang mencapai
15,36 persen.

Akibat orientasi eksport produk yang terlalu bertumpu pada pasar Amerika
mengakibatkan hantaman telak bagi Indonesia karena daya beli komsumsi
Amerika akan merosot akibat krisis finasial yang menerpanya. Bagi
Indonesia, krisis ini akan memiliki dampak yang saling terkait diberbagai
sektor. Pada akhirnya,semua ini akan memperlambat pertumbuhan.

Adapun dampak-dampak yang terjadi pada perekonomian Indonesia meliputi:
Pertama, krisis global akan menyebabkan terganggunya stabilitas makro
nasional. Ini dimulai dengan pertumbuhan yang melambat,karena permintaan
produk dalam negri oleh pihak konsumen luar negeri yang menurun memaksa
industri dalam negeri harus memangkas biaya produksi dimana cara yang paling
mudah adalah dengan mengurangi tenaga kerja termasuk mem-phk buruh. Ini
berkaitan erat dengan inflasi yang merayap terus naik, juga factor
peningkatan suku bungga yang mengakibatkan mengikisnya pendapatan riil
rumah tangga akibat besarnya biaya yang dikaitkan dengan tinggi rendahnya
bunga.

Kedua, dampak krisis global akan menohok secara langsung dan tidak langsung
industri nasional. Bagi perusahaan yang bergerak disektor industri, kenaikan
harga minyak akan meningkatkan biaya produksi langsung berupa biaya
penggunaan BBM. Selain itu,akan meningkatkan biaya harga komponen (raw
materials) impor maupun lokal. Kenaikan ini juga otomatis akan meningkatkan
ongkos transportasi dalam jalur distribusi.

Ketiga, peningkatan inflasi dan harga barang industri, serta kenaikan harga
BBM akan menggerus pendapatan riil rumah tangga. Hal ini pada gilirannya
akan dimanifestasikan dalam bentuk penurunan tingkat konsumsi dan investasi
domestik, yang akan semakin menambah tekanan ke bawah pada tingkat
pertumbuhan.

Hantaman Krisis Global Bagi Rakyat Khususnya Petani Sawit

Pemerintah Indonesia hari ini tidak mampu mengurus semua persoalan rakyat,
karena watak rezim hari ini yang mengabdikan dirinya untuk kepentingan
pemodal. Ini ditandai dengan berbagai kebijakan yang sangat pro modal. Sejak
tahun 2000 sektor industri minyak sawit sangat diminati oleh pasar dunia
karena kebutahan komsusmsi bahan pangan dan kosmetik selain itu alternative
pengunaan bahan bakar nabati (biofuel) mendorong naiknya harga CPO dunia
sehingga dianggap sanggat menguntungkan bagi devisa Negara melaui eksport
CPO yang sangat mengiurkan, Devisa dari industri minyak sawit pada tahun
2006 menurut komisi minyak sawit Indonesia berada pada urutan nomor 2 pada
eksport non migas sektor pertanian dengan nilai ekspor komoditas perkebunan
2007 mencapai US$ 12,3 miliar (Rp 115,6 triliun) atau naik 21,5 persen
dibandingkan 2006 yang mencapai US$ 10,11 miliar (Rp 95 miliar). Angka
ekspor itu telah melampaui target sejak Oktober 2007 yang mencapai US$ 11,25
miliar (Rp 105,7 triliun).

Melihat peluang tersebut kemudian pemerintah menargetkan pembukaan
perkebunan sawit hingga 20 juta ha yang tersebar hampir disetiap propinsi di
Indonesia. Pada tahun 2007 kebun yang sudah dibuka adalah 7,4 juta ha dan
produksi CPO yang dihasilkan mencapai 17,5 juta ton menghantarkan Indonesia
sebagai produsen terbesar minyak sawit mengalahkan Malaysia. Ambisi tersebut
harus dibayar dengan terjadinya konflik dimana-mana akibat keserakahan antar
pemodal dan birokrasi dalam mencari keuntungan, konflik sosial terutama
konflik tanah meningkat berbanding lurus dengan jumlah luasan pembukaan
perkebunan. Lokasi ijin yang diberikan tidak memperhatikan daya dukung
ekologi sehingga terjadinya konversi hutan besar-besaran, asap dan banjir
sudah merupakan bencana yang sering ditemui hampir disetiap tahun. Pada
Tahun 2003 sampai 2004 saja luas lahan pertanian menyusut 703.869 hektar
dari 8.400.030 hektar menjadi 7.696.161 hektar, mengakibatkan kerawanan
pangan dibeberapa daerah ditengarai pembukaan perkebunan sawit juga ikut
andil dalam hal ini.

Disisi lain memang keuntungan dapat diperoleh karena semakin meningkatnya
harga TBS (Fresh Fruit Brunch) ditingkat petani sawit disebabkan permintaan
pasar yang besar. Sejak tahun 2000 sampai tahun 2007 harga TBS melonjak
tajam dari harga Rp 400-600/ kg mencapai hingga angka Rp 2000/ kg. Petani
sawit ikut merasakan nikmatnya harga ini dan mendorong mereka untuk terlibat
dalam perkebunan sawit, bahkan mereka berani untuk mengkonversikan kebun
karet dan lahan pangan untuk dijadikan kebun sawit dengan dibantu oleh
pemerintah melalui kredit perbankan yang sesunguhnya "keblinger" karena
topangan mikro ekonomi yang lemah. Misalnya saja petani tidak diberikan
penyuluhan soal keahlian budidaya tanaman sawit untuk meningkatkan
produktivitasnya sehingga mereka cenderung menambah ekspansi lahan, justru
sarana produksi terpangkas dengan meningkatnya harga pupuk dan pestisida
yang sangat sulit didapatkan oleh petani, sementara untuk angkutan mereka
berharap pada angkutan perusahaan padahal TBS harus diangkut sampai ke
pabrik milik perusahaan 1 kali 24 jam, selebihnya harga akan menurun karena
rendeman minyak sawitnya akan berkurang. Akibatnya petani sawit harus
bergantung kepada perusahaan dan dijerat utang ditengah inflasi yang
semakin meninggi. Hantaman telak terjadi ketika krisis yang terjadi di
Amerika mempengaruhi seluruh perekonomian dunia yang mengakibatkan resesi
dan pasti akan menghantam pasar eksport yang berbasikan komoditas dimana
konsumen akan melakukan penundaan pembelian atau terpuruk karena daya
belinya menurun akibat biaya produksi yang meninggi dikarenakan angka
inflasi yang besar.

Dampak langsung ke petani sawit atas krisis ekonomi global ini mengakibatkan
permintaan minyak sawit dunia menurun, sehingga industri minyak sawit di
Indonesia harus dikurangi untuk mengimbangi suplay atas permintaan minyak
sawit yang menurun. Disisi lain turunnya permintaan minyak sawit berakibat
turunnya harga minyak sawit karena daya beli dan permintaan yang menurun,
artinya perusahaan tidak mau membeli TBS dari petani untuk menjaga supply
mereka cenderung lebih mengutamakan TBS yang berasal dari kebun inti mereka.
Ini mengakibatkan harga TBS di tingkat petani langsung terjun bebas.

Korban yang paling dirugikan dalam hal ini tentunya adalah petani sawit itu
sendiri, padahal klaim pemerintah dari total luasan kebun sawit 2,6 juta
merupakan kebun rakyat yang mempekerjakan 4,5 juta KK petani sawit disektor
ini. Setelah mereka bisa sedikit menikmati manisnya minyak sawit, hari ini
mereka terpuruk pada level yang terendah dengan harga TBS untuk petani
plasma pada bulan oktober dibawah Rp. 1060 / kg (kalbar) di Rp. 700 (kaltim)
Rp.800 (Jambi) itu tergantung umur tanam sawitnya[2], sementara bagi petani
swadaya yang tidak bisa dilindungi oleh aksi tengkulak sangat parah dimana
harga TBS hanya berkisar pada harga Rp 400-600 / kg bahkan salah satu
Kabupaten di Propinsi jambi TBS hanya dihargai Rp. 80/kg. padahal
berdasarkan data harga eksport dari kantor pemasaran bersama (joint market
office) PT. Perkebunan Nusantara harga komoditas eksport sawit update pada
tgl 20 oktober 2008 untuk sawit lokal masih berkisar pada RP 4211/ kg
sementara untuk sawit eksport Rp.490/ kg.

Sangat ironis dalam kondisi ini mereka tetap harus menanggung biaya kredit
diperbankan dengan bungga yang ikut meningkat juga (plasma), sementara untuk
memenuhi kebutuhan pangan tidak ada lagi tanah untuk menghasilkan akibat
sudah dikonversi menjadi sawit sehingga harus membeli. Bagaimana mereka
bisa bertahan ditengah inflasi yang sangat tinggi hari ini ?? akibatnya
dijambi dilaporkan ada petani yang bunuh diri akibat tidak mampu menahan
beban hidup, dilaporkan juga di Kabupaten Merangin banyak yang masuk rumah
sakit jiwa akibat stres dan kebanyakan berasal dari petani kelapa sawit.

Ketidakmampuan Rezim Dalam Mengurus Kekayaan Alam Dan Ekonomi Rakyat

Fenomena tersebut sesungguhnya bisa diantisipasi apabila kemauan dan
dedikasi yang tinggi untuk mensejahterakan rakyat ada pada nurani pimpinan
negeri ini. Platform ekonomi yang tidak bergantung pada eksport dan
diarahkan untuk pemenuhan dalam negeri seharusnya menjadi tumpuan utama.
Kondisi objektif Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam
namun penduduknya miskin, itu diakibatkan sumber-sumber fital rakyat telah
dikuasai oleh investor asing, semisal Freeport di papua, Exxon di aceh,
Aqua, Newmont dll. Pemerintah selalu saja sesumbar dan berdalih dengan teori
dan angka-angka statistik tanpa pernah melihat situasi ril yang terjadi pada
rakyatnya semisal petani sawit yang bunuh diri dijambi akibat menurun harga
TBS. Waktu krisis finansial terjadi di Amerika pada juli 2007 mulai
menandakan terjadinya krisis global, pemerintah Indonesia sesumbar bahwa
fundamentalis ekonomi makro Indonesai masih kuat. Bank Indonesia justru
mengatakan bahwa perlambatan perekonomian global yang ada di AS dan Eropa
tidak serta merta akan menurunkan ekspor barang Indonesia. Kenyataan
berbalik menjungkirbalikan semuanya, gejolak ekonomi global berdampak
langsung kepada perekonomian di Indonesia karena jika ekonomi AS melemah,
kinerja ekspor nasional akan terganggu, karena jika permintaan luar negeri
berkurang, industri akan melakukan penyesuaian antara lain mengurangi
produksi. Jika produksi dikurangi, tenaga kerja pun otomatis akan dikurangi
dan akibatnya pengangguran akan meningkat dan angka kemiskinan melonjak
karena kehilangan sumber produksi. Artinya, jika AS sakit, Indonesia terkena
langsung getahnya, rakyatlah yang menderita termasuk petani sawit dalam
sektor industri minyak sawit yang bergantung pada eksport.

Selain itu pasar finasial (saham) juga sangat terpengaruh oleh krisis
keuangan Amerika, sebab perputaran uang dipasar finansial -baik saham maupun
valas masih didominasai oleh aliran dana dari luar negeri, termasuk beberapa
perusahaan industri minyak sawit yang masuk dalam pasar saham ini dalam
Indeks Saham Gabungan (ISG). Pasar finansial merupakan dimana uang panas
"hot maney" bercokol. Artinya uang dalam pasar finansial bisa tiba-tiba
pergi dan bisa berdampak pada nilai tukar Rupiah. Bulan oktober 2008 nilai
tukar Rupiah bahkan anjlok hingga angka Rp 11.700 terhadap mata uang dolar
Amerika. Hal tersebut terjadi karena pasokan dollar dalam negeri menurun
akibat meningkatnya permintaan terhadap dollar. Hal ini wajar karena
kepercayaan terhadap mata uang dollar Amerika lebih besar dari pada mata
uang Rupiah sehingga orang lebih cenderung menukar mata uang dollar dalam
pasar finansial. Kondisi ini sangat ironis dengan pernyataan pemerintah
bahwa kekuatan perekonomian Indonesia masih kuat tapi justru masyarakat
tidak percaya terhadap Rupiah bahkan lebih percaya mata uang dollar Amerika
yang lagi mengalami krisis. Apa yang sebenarnya terjadi ? Tidak lain tidak
bukan karena uang tidak pernah mengenal nasionalisme, dimana menguntungkan
disitu dia akan bertengger.

Disisi lain akibat melemahnya Rupiah, nilai kredit perbankan menjadi lebih
tinggi dan berpengaruh langsung pada keuangan perusahaan dalam membayar
kredit apalagi perusahaan yang bersandar pada bahan baku import yang harus
dibeli dengan mata uang dollar. Akibatnya sector industri dalam negeri
mengalami pukulan dan akan meningkatkan pengangguran karena biaya produksi
meningkat dan akhirnya berujung pada kemiskinan, lagi-lagi rakyat yang
menderita.

Ketika krisis semakin jauh mempengaruhi ekonomi Indonesia pemerintah
kemudian panik dan membuat kebijakan yang tergesa-gesa tanpa antispasi sejak
awal. Pemerintah SBY -JK kemudian membuat 10 langkah yang harus ditempuh
untuk menghadapi krisis keuangan Amerika Serikat agar tidak memberikan
pengaruh buruk terhadap perekonomian Indonesia yang terkesan euphoria
ditengah inflasi yang sudah meninggi dan tingkat kepercayaan masyarakat yang
lemah terhadap pemerintah dan nilai tukar Rupiah yang sudah mencapai angka
Rp.11.000. Indonesia kemudian ikut-ikutan mengikuti paket kebijakan "bail
out" Amerika yang sempat di tolak oleh DPR nya Amerika namun kemudian
disetujui oleh kongres Amerika yang memuat tiga hal yaitu : pengucuran dan
sebesar US $ 700 miliar untuk membeli utang kredit perumahan yang terkena
masalah, menaikan jaminan simpanan di Bank sebesar US $ 100.000 menjadi US $
250.000./orang dan membolehkan lembaga penjamin simpanan untuk meminjam dana
talangan sebesar apapun kepada negara. Perpu nomor 4 tahun 2008 diterbitkan
pemerintah untuk menjamin kesulitan likuiditas dan persoalan perbankan dalam
menghadapi krisis juga dadakan diterbitkan. Perusahan milik Pemerintah
kemudian diperintahkan untuk membeli kembali (buyback) saham-saham BUMN yang
diparkir diluar negeri untuk menjaga krisis jatuhnya Rupiah, sangat ironis
dengan gembar-gembor privatisasi BUMN yang sebelumnya digaungkan oleh
pemerintah. Selain itu juga BI menaikan jaminan tabungan hingga mencapai 2
miliar rupiah tentunya bagi pemodal dan orang kaya, sementara petani sawit
harus berusaha mencari penghasilan tambahan untuk melunasi cicilan kredit
diperbankan.

Lagi -lagi rakyat miskin dikorbankan untuk menjaga stabilitas pertumbuhan
ekonomi. Kenyataan dilapangan ditingkat rakyat kecil sama sekali tidak
tersentuh dengan paket kebijakan ini malah memberi intensif bagi orang kaya
situan kapitalis yang akan semakin menghisap darah buruh dan tani di negeri
ini, termasuk petani sawit.


[1] Imprealisme merupakan tahapan tertinggi kapitalisme monopoli di dunia

[2] Harga sawit untuk plasma ditentukam melaui perhitungan angka Indeks-K
yang di terbitkan oleh Gubernur berdasarkan kepmenhutbun NOMOR :
627/Kpts-II/ 1998. Namun harga tersebut tidak diterima penuh oleh petani
karena masih dipotong berbagai komponen sehingga yang diterima petani bisa
setengah dari harga TBS tersebut.

Oleh : A.Rompas (sob)

PETANI MISKIN, HARGA HASIL BUMI NAIK”SARJANA PERTANIAN APA GUNAMU ”

T-Jack PETANI MISKIN, HARGA HASIL BUMI NAIK”SARJANA PERTANIAN APA GUNAMU ”

Hem sebuah pertannyaan, ketika GELAR SP, sudah menghias namak, ”Mau kerja dimana neh?” ”eh di Bank anu buka lowongan tuh”, ”Finace PT itu buka lowongan”, ”di pemda itu buka lowongan PNSjuga loh”….”Wah aje gile, lo nawarin kerja kayak gitu! Terserah loe mau bilang apa, mau bilang kolot, mau bilang gak tau jaman, mau bilang masa depan gw yang gak jelas”. Di kepala gw, kerjaan yang akan gw lakoni, adalah pekerjaan yang sesuai Hoby dan Profesi gw. Percuma kuliah gw 9 tahun yang hampir di DO kalau gak mengapdi pada profesi gw. Pokoknya Kerjaan gak boleh mengalahkan minat, hoby atau profesi gw, hahahaha kalau gw Sarjana pertanian trus gw kerja di Bank, atau perusahaan yg kagak nyambung sama profesi gw, percuma gw kuliah lama2 di Fakultas Pertanian……Percuma gw belajar Biologi, Dasar2 agronomi (mana ngulang 3x lagi), belajar biologi umum, belajar Hama penyakit tanaman, belajar Ekonomi pertanian, belajar ekonomi sumberdaya alam,wah rugi deh, pokoknya! Itu artinya ilmu yang gw dapat dari dosen2 gw MUBAZIR banget and menyia-nyiakan ilmu yang sudah gw dapat trus gak bisa di bagi-bagi atau bermanfaat buat orang banyak! Itu namanya mengkufuri nikmat Tuhan. Dari dulu loe tau, selama kuliah Hoby gw cuman Foto-Foto, Naik gunung, Traveling, keluar masuk desa terpencil. Saat tahun ajaran baru dimulai gimana caranya nyiasatin nyusun SKS pokoknya, cukup ambil 18 SKS aja, jadi kuliah seminggu 3X, sisanya buat jalan2 menyalurkan hoby and mengasah kemapuan yang gak gw dapet dari kampus, hehehe wajarkan tamatnya agak lama!
Namun setelah di pikir kalau gw banting setir, hem rugi deh kuliah and ilmu gw gak akan berguna!..........namun setelah dipikir ulang walaupun gw miskin harta, ternyata gw sudah memilih jalan hidup gw, pokoknya gimana caranya harus tetap kerja sesuai hoby and profesi, bagi gw kalau kerja nggak cinta, nggak iklas pasti hasilnya gak maksimal, yg di kejar bakalan urusan duniawi, Penghasilan gede kerja 0 (NOL), ujung-ujungnya korupsi, kutit sana- kutit sini! Itu dia yang kayak begitu yang gw gak mau.
Ada contoh temen gw yg dulu sama-sama lulusan Sarjana Pertanian dengan IPK 3,2, pinter, rajin, eh pas tamat kerjanya di Bank ngurusin kredit mengkredit yg gak ada hubungan saat prodi waktu kuliah,….wah rugikan kuliah cape-cape, belajar tanam menanam, gak taunya gak dipake tuh ilmu! dia sendiri mengakui harus belajar di dunia barunya, yang gak pernah di dapet di bangku kuliah dari masalah pemasaran sampai perbangkan dll, pokoknya dimulai dari 0 ( nol) lagi,…………….yach inilah negeri kita, yang serba aneh, serba semrawut pokoknya! ( Maaf bila ada yang terkritik, walaupun apapun profesinya, apapun pekerjaan baik tukang becak, Dosen, tukang sapu, pejabat, teller bank, dll, sama di Mata Tuhan yang penting HALAL)

WAJAR kalau negara ini gak maju2, karena pikiran yang ada di otaknya adalah duniawi saja alias uang, bukan ilmu, bukan bagaimana membangun dengan kemampuan dan profesi kita! Gw nggak nyalahin temen gw sih itu mah tergantung orangnya! Namun yang gw salahin adalah sistem Negara kita!, and wajar saja bertahun2 negara kita, Indonesia yang terkenal sebagai Negara agraris, ternyata gak maju2. mau bagaimana kalau Sarjana Pertaniannya gak mau kembali ke sawah, gak mau mengapdi ke bidangnya, gak mau menyumbangkan ilmu dari bangku kuliah untuk kemajuan pertanian!.........hal ini juga sama halnya dengan temen-temen gw yang punya gelar SHut (Sarjana Kehutanan), dimana setiap tahun dari kampus gw minimal ada sekitar 20 atauang SHUT yang di wisuda, namun keadaan hutan kita malah makin parah, makin gundul, dalam ilmu statistik, kalau di buat grafiknya anatara jumlah lulusan sarjana kehutanan ternyata berbanding terbalik dengan keberasilan kelestarian hutan, dimana semakin banyak sarjana kehutanan semakin rusak hutan...hahaha, bener gak…. !?

Yah walaupun semuanya gak kayak begitu, sebagian sarjana masih pada idialis, masih pada profesinya bekerjanya! Nah yang sebagiannya lagi itu dia, Cuma kuliah yng penting dapet title….ini dia perusak bangsa!


Bencana + Kebijakan mandul= Tempe mahal x Petani Miskin = Negara Semrawut



Tulisan diatas cuman sebagai pengantar, antara kenyataan yang ada dan sebuah dilema para Sarjana di negeri ini. Yang pada ujungnya ternyata apa yang di takuti oleh bangsa ini menjadi kenyataan. Dimana indonesia yang katanya negara agraris namun ternyata harus di dikte oleh bangsa lain dalam menentukan harga hasil bumi. Sebenarnya kejadian saat ini merupakan akumulasi dari berbagai macam permasalahan mengenai dunia pertanian selama beberapa dekade terakhir ini. Ya salah satunya masalah diatas, dimana sarjana pertanian yg enggan bekerja di dunia profesinya, kebijakan pemerintah yang tumpang tindih, dan permasalahan lainya yang membuat para petani malas untuk tetap bekerja menjadi petani, ya wajar saja bila saat ini indonesia menjadi negara yang berketergantungan terhadap bangsa lain dalam urusan pangan. Salah satunya yang saat ini di hadapi adalah naiknya harga kedelai yang berujung pada bangkrutnya sejumlah pengusaha yang menggunakan kedelai sebagai bahan dasar produksi usahanya.



Pemerintah Indonesia selalu saja membohongi rakyat Indonesia, yang katanya tidak akan ketergantungan pangan oleh bangsa lain, nah saat ini ternyata kebohongan ini terbuka satu persatu, dari harga beras naik, yang ternyata indonesia impor beras, bahkan pernah harga pesawat buatan anak bangsa indonesia di samakan harga beras dari negara sahabat. Ketika Amerika mengalami krisis akibat naiknya harga minyak mentah dunia, maka para ekonom negara paman sam tersebut menekan dengan menaikan harga yang dibutuh oleh negar-negara miskin, negara yang membutuhkan barang-barang yang diproduksi oleh Amerika, salah satunya adalah meningkatnya harga kedelai dipasar dunia, yang berujung pada meningkatnya harga kedelai di pasar Indonesia, kejadian ini akan berujung pada krisis multidimensi seperti kejadian awal tahun 1998, kalau tidak cepat ditangani lebih serius.



Permasalah yang akan terjadi akan sesuai dengan hukum ekonomi dan hukum sibtitusi, dimana ketika kedelai naik, maka akan ada bahan-bahan yang naik seperti tepung terigu, beras, jangung, yang nantinya disusul naiknya harga bungkil kedelai yang menjadi bahan baku pakan ternak sementara permintaan konstan atau terus meningkat. Menurut Kompas 17 Januari 2008 bahwa idustri pakan ternak memproyeksikan kebutuhan bungkil kedelai pada tahun 2008 sebanyak 1,6 juta ton, namun dikarenakan kenaikan harga kedelai yang mencapai 50,6 persen per oktober 2007 dari sebelumnya Rp 2.850/kg per november 2006 maka dampaknya adalah kenaikan harga pada pakan ternak, yang berdampak pula pada naiknya haga ternak yang pada gilirannya akan mendatang,terjadi kenaikan harga daging ayam, telur dan menyusul nantinya kenaikan harga jagung dan lain-lain.



Kondisi pertanian di negara Indonesia memang kacau balau, karena pemerintah memang tidak memiliki kebijakan yang memadai dan ketergantung pada impor yang tidak di sesuaikan dan di persiapkan dengan baik serta disesuaikan dengan siklus kebutuhan rakyat Indonesia. Kenyataan ini tampak bahwa pemerintah tidak memiliki pandangan yang luas yang berjangka panjang dalam kebijakan pertanian dan kebijakan lainya. Sehingga yang harusnya dilakukan adalah mengubah paradigma pertanian, perubahan ini tidak saja di eksekutifnya, namun di tingkatan bawah, seperti pejabat pemerintah di daerahpun baik kepala dinas maupun petugas penyuluh lapangan hingga akademi yang menjadi mitra pemerintah harus ikut berubah.

Dirubah atau Berubah
Menurut Rhenald Ksali, Ph.D manusia akan berubah menuju kesukseksan ada dua sebab pertama karena manusia memiliki rancangan atau rencana, secara jangka panjang agar dapat menuju kesuksesan dan yang kedua adalah diubah cara berpikir agar dapat survive dan memiliki paradima baru untuk kesuksesan. Nah ternyata kemajuan yang pernah di capai bangsa indonesia bukan karena ingin berubah namun karena diubah yang secara nyatanya adalah bangsa indonesia ini dipaksa berubah karena situasi dan kenyataan yang ada, baik masalah pertanian, perekonomia, pendidikan dan lain-lain.



Manusia-manusia indonesia tidak pernah sadar atau memiliki wasan kedepan, sebuah rencana jangka panjang untuk sebuah perubahan dan kesuksesan dalam bidang apapun, baik pertanian, pendidikan, perekonomian lingkungan dan lain-lain. Ini terbukti dari beberap kejadian salah satunya ketika harga kedelai naik maka harga kebutuhan lainya naik dan pemeintah kita tak punya soslusi yang memang seharusnya dalam hitung-hitung kejadian ini telah diprekdiksi, ini sam halnya dengan bencana yang ada di indonesia seperti banjir, kebakaran hutan dan lain-lain, dimana pemerintah akan berubah ketika kebakaran jengot, ketika banjir sudah terjadi danmmenelan korban jiwa, baru membuat program penghijauan, baru gembar-gembor global warming, ketika budaya indonesia diakui negara tetangga baru mulai sibuk..ini jelas-jelas pemerinthan indoneisa hanya memliki pandangan sempit sama dengan pandangan kacamata kuda, yang hanya bisa melihat kekanan dan kiri saja.



Harga Pangan dunia >harga pangan dalam negeri = Petani Miskin + Rakyat Miskin Gizi



Pada sebuah pers, Menteri Pertanian R.I Anton Aprioyato mengatakan bahwa pemerintah Indonesia menyadari akan ketergantungan pangan di indonesia terhadap bangsa lain. Yang berujunganya tidak baik bagi kethanan pangan bangsa indonesia. Dan yang terjadi adalah negara Indonesia tidak berhasil meredam harga pangan di pasar dunia yang berakibat terseretnya harga pangan dalam negeri.



Keadaan diatas karena Pemerintah tak sanggup membuat program untuk merangsang petani agar mau melakuakn intensifikasi usahati, sebenarnya semua ini adalah hukum sebab akibat, Petani tidak mau berusahatani karena harga saprodi (Sarana produksi pertanian) seperti pupuk bibit, dll mahal, sementara harga produksi murah karena adanya kebijakan impor terhadap hasil pertanian yang mengakibatkan harga produksi dalam negeri lebih murah dari produksi yang dimpor. Wajar saja ketika kedelai naik beras naik, kok petani masih Miskin, wajar saja sarjana pertanian enggan kembali bekerja di profesinya, wajar saja para petanipun beralih usaha.



Bangsa TEMPE



Kebayang tidak sebelumnya bahwa Tempe yang merupakan makan paling murah yang dibuat dengan di injek-injek menggunakan kaki, ternyata saat ini menjadi makanan yang berkelas yang tak sanggup lagi dibeli oleh tukang becak, oleh para kaum miskin, padahal Tempe merupakan makanan faforit yang murah meriah, makan yang memiliki protein nabati tinggi, makanan sehari-hari gw yang telah mencerdaskan isi kepala bangsa indonesia dari tempe bacem, tempe goreng, tempe penyet, mungkin saja nanti harga tempe lebih mahal dari harga daging ayam, dan bisa saja nanti ada hamburger rasa tempe. Ini baru tempe yang naik, belum beras, belum susu, belum barang-barang lainnya. Kebayang tidak keuarga yang sehari-hari makan dengan tempe tahu saat ini tak sanggup lagi membelinya, mungkin makan nasi dan garam saja.



Walaupun negara ini di bangun oleh anak bansa yang cerdas karena makannya sehari hari dengan tempe, namun ternyata memang indonesia adalah bansa Tempe, yang ternyata juga bermetal tempe, berotak tempe. bersifat tempe. Bekerja dan berpikir untuk sesat tanpa untuk kemajuan kedepan.



Bangkit atau terlena



Ibarat makanan kalau setiap hari cuman makan dengan nasi tempe makan akan bosan, maka harus berubah menu yang sedikit istimewa dengan nasi telor, dan seterusnya menjadi Nasi daging yang 4 sehat 5 sempurna. Inilah lah yang harus dilakukan oleh bangsa ini, setiap saat selalu terpuruk maka saatnya harus bangkit dengan pemikiran kedepan agar kita dapat keluar dari krisispangan, krisi multi dimensi, namun saat keluar jangan hanya sesat, namun setrusnya hingga rakyat bangsa ini sejahtera. Tidak saja pejabatnya namun petaninya, tukang becaknya, semua orang lapisan bawah yang merasakan kesejahteraan.



Sikap dan tindakan pemikiran jangka panjang yang berwawasan luas ini harus dimulai oleh para sarjananya, para pemuda, dan yang pasti harus didahului oleh pemimpinya, serta pemerintahnya. Yang mana para sarjana bekerja sesuai profesinya, para dosen kembali ke kampus untuk mengajar, bukan mengejar proyek, PNS yang merupakan pelayan rakyat harus melayani rakyat, pemimpin pemeritahan harus berpikir untuk kemajuan bukan untuk bagaimana caranya korupsi. Bila kita kembali ke visi dan FOKUS maka negara ini akan terlepas dari bencana, bencana krisis multi dimensi.


”Coo-Jack”
Resum diskusi komunitas Tani Maju Malang