Selasa, 31 Agustus 2010

Krisis Resesi Ekonomi Global, Inflasi dan Pengaruh Terhadap Petani Sawit

Tuesday, 02 December 2008

Krisis Ekonomi Politik Indonesia Ditinjau Dari Sistem Perkebunan Skala Besar.

Disajikan oleh Badan Persiapan Pembentukan Nasional

Serikat Petani Kelapa Sawit (BPPN- SPKS)
Bagian Pertama

Krisis Ekonomi Politik Dilihat Dari Angka Inflasi

Rakyat Indonesia hingga hari ini selalu saja mendapat terpaan badai
penderitaan. Ditengah semakin tingginya angka penggaguran, PHK masal
dikalangan kelas buruh, pengusuran besar-besaran kaum pedagang kecil
perkotaan atas nama keindahan kota, kemiskinan dipedesaan karena semakin
hilangnya alat produksi dan ketersediaan alam yang semakin hari semakin
menyempit. Hal tersebut sudah lama diderita rakyat Indonesia tanpa pernah
berhenti, serangan sebelumnya adalah kenaikan harga-harga kebutuhan rakyat
yang ditandai dengan kenaikan BBM dunia yang mempengaruhi dan memaksa
pemerintah Indonesia harus merupah APBN -P yang berimplikasi terhadap
kenaikan harga BBM dalam negeri yang memicu semua harga kebutuhan pokok
rakyat turut meningkat. Pukulan yang terbaru adalah krisis ekonomi global
yang ditandai dengan krisis kredit perumahan (subprime mortgage)
mempengaruhi ekonomi di Amerika yang merupakan sentrum perekomomian dunia
menghantam semua sendi ekonomi dunia dan mendorong terjadinya inflasi
diberbagai belahan dunia termasuk Indonesia juga tidak terlepas dari terpaan
badai ini.

Apabila dilihat indikator permukaan makro ekonomi sebelum krisis global
terjadi, laporan BPS menyatakan bahwa angka inflasi bulan september berada
pada kisaran 0,51 persen, sedangkan untuk laju inflasi tahun kalender dari

Kondisi ini mengisyaratkan target pencapaian inflasi yang disepakti oleh
pemerintah dan BI yaitu target inflasi Januari-September 2008 sebesar
10,47%, sementara year on year sebesar 12,14 persen. Angka ini merupakan
laju inflasi paling tinggi pada 3 tahun terakhir. Hal tersebut dipicu karena
kenaikan harga-harga bahan pokok termasuk sewa perumahan. BPS mencatat
beberapa komoditas yang mengalami kenaikkan harga antara lain adalah bahan
bakar rumah tangga, ikan segar, daging ayam ras, daging sapi, telur ayam
ras, ikan diawetkan, tempe, beras, nasi dengan lauk dan banyak lagi termasuk
minyak goreng.pada tahun 2008 sebesar 5 persen dengan deviasi satu persen
dengan cacatan bahwa potensi inflasi sangat tinggi sehingga bersama DPR
mereka menyepakati angka 6,4 persen sebagai angka inflasinya sangat sulit
dicapai.

Inflasi merupakan potret peristiwa moneter yang menggambarkan kenaikan harga
barang, Dimana dalam hukum ekonomi tergambar posisi suplay dan demand
(persedian dan penawaran) yang selalu terjadi dalam sistem pasar. Inflasi
dapat diakibatkan oleh dua hal yaitu tarikan permintaan atau desakan biaya
produksi. Inflasi tarikan permintaan (demand pull inflation) terjadi akibat
adanya permintaan total yang berlebihan sehingga terjadi perubahan pada
tingkat harga. Bertambahnya permintaan terhadap barang dan jasa
mengakibatkan bertambahnya permintaan terhadap faktor-faktor produksi.
Meningkatnya permintaan terhadap faktor produksi itu kemudian menyebabkan
harga faktor produksi meningkat. Jadi, inflasi ini terjadi karena suatu
kenaikan dalam permintaan total sewaktu perekonomian yang bersangkutan dalam
situasi full employment. Yang kedua adalah Inflasi desakan biaya (cost push
inflation) terjadi akibat meningkatnya biaya produksi (input) sehingga
mengakibatkan harga produk-produk (output) yang dihasilkan ikut naik.

Kenaikan inflasi ini semakin menjelaskan ketimpangan ekonomi nasional yang
gagal mengurus penataan produksi nasional untuk memenuhi kebutuhan pokok
nasional dan semakin tingginya ketergantungan pada barang komoditas impor,
khususnya komoditas pangan internasional, disisi lain strategi eksport yang
dianut pemerintah tanpa berusaha memenuhi industri dan kebutuhan dalam
negeri menyebabkan penderitaan rakyat semakin nyata.

Seharusnya Inflasi harus menjadi perhatian utama karena merupakan potret
yang terjadi ditengah masyarakat. Semakin tinggi laju inflasi, maka semakin
rendah kesejahteraan masyarakat karena nilai setiap sen uang yang dipegang
orang terus menurun. Akibatnya daya beli melorot. Jadi, jika ekonomi dunia
meradang, orang miskin Indonesia pun bisa jadi semakin miskin.

Krisis Global Dan Pengaruh Terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Beberapa faktor kenaikan harga-harga kebutuhan pokok memang tidak bisa
dipisahkan dengan faktor resesi ekonomi dunia yang kian memburuk seiring
dengan krisis umum imprealisme[ 1]: kelesuan ekonomi Amerika Serikat yang
dipicu oleh krisis kredit perumahan (subprime mortgage); krisis finansial,
krisis energi [minyak, gas, batubara], ditandai dengan kenaikan harga minyak
di pasaran internasional yang telah menembus 117 US $/barel, namun
terkoreksi pada angka 82 US $ / barel pada bulan oktober 2008 akibat
permintaan terhadap minyak dunia menurun impas dari krisis yang terjadi di
Amerika. Walaupun demikian harga minyak dunia yang sempat melambung memaksa
berbagai sektor produksi ekonomi menaikkan ongkos produksinya dan tidak ikut
terkoreksi hingga hari ini. Sedangkan disisi lain imbas dari pemanasan
global telah menyerang lingkungan hidup bumi manusia, dengan cuaca buruk,
gelombang badai, banjir, longsor, telah memukul hampir semua produksi
pertanian dan kelancaran sistem transportasi dunia.

Segala sesuatu ada saling hubunganya, krisis ekonomi Amerika kemudian
menjadi krisis global yang berpengaruh pada sektor ril ditingkat lokal.
Karena centrum kekuatan akumulasi modal kapitalis berada di negara ini, AS
merupakan pasar eksport terbesar didunia termasuk pasar ekport Indonesia.
Coba tengok angka-angka ekspor nonmigas Indonesia ke AS selama ini yang
tercatat di Badan Pusat Statistik dan diolah kembali oleh Departemen
Perdagangan. Sekilas terlihat betapa produk Indonesia sangat bergantung pada
pasar Amerika karena ekspor Indonesia ke negara itu menduduki peringkat
kedua terbesar setelah Jepang.

Ekspor nonmigas Indonesia ke AS meningkat dari 7,17 miliar dollar AS pada
2002 menjadi 10,68 miliar dollar AS pada 2006 atau meningkat 11,74 persen.
Selama Januari-Agustus 2007, ekspor ke AS sudah mencapai US$ 7,48 miliar AS
atau meningkat 5,14 persen dari periode yang sama 2006.

Itu artinya, peran ekspor ke AS terhadap total ekspor nonmigas Indonesia
mencapai 12,45 persen, setingkat dibawah ekspor ke Jepang yang mencapai
15,36 persen.

Akibat orientasi eksport produk yang terlalu bertumpu pada pasar Amerika
mengakibatkan hantaman telak bagi Indonesia karena daya beli komsumsi
Amerika akan merosot akibat krisis finasial yang menerpanya. Bagi
Indonesia, krisis ini akan memiliki dampak yang saling terkait diberbagai
sektor. Pada akhirnya,semua ini akan memperlambat pertumbuhan.

Adapun dampak-dampak yang terjadi pada perekonomian Indonesia meliputi:
Pertama, krisis global akan menyebabkan terganggunya stabilitas makro
nasional. Ini dimulai dengan pertumbuhan yang melambat,karena permintaan
produk dalam negri oleh pihak konsumen luar negeri yang menurun memaksa
industri dalam negeri harus memangkas biaya produksi dimana cara yang paling
mudah adalah dengan mengurangi tenaga kerja termasuk mem-phk buruh. Ini
berkaitan erat dengan inflasi yang merayap terus naik, juga factor
peningkatan suku bungga yang mengakibatkan mengikisnya pendapatan riil
rumah tangga akibat besarnya biaya yang dikaitkan dengan tinggi rendahnya
bunga.

Kedua, dampak krisis global akan menohok secara langsung dan tidak langsung
industri nasional. Bagi perusahaan yang bergerak disektor industri, kenaikan
harga minyak akan meningkatkan biaya produksi langsung berupa biaya
penggunaan BBM. Selain itu,akan meningkatkan biaya harga komponen (raw
materials) impor maupun lokal. Kenaikan ini juga otomatis akan meningkatkan
ongkos transportasi dalam jalur distribusi.

Ketiga, peningkatan inflasi dan harga barang industri, serta kenaikan harga
BBM akan menggerus pendapatan riil rumah tangga. Hal ini pada gilirannya
akan dimanifestasikan dalam bentuk penurunan tingkat konsumsi dan investasi
domestik, yang akan semakin menambah tekanan ke bawah pada tingkat
pertumbuhan.

Hantaman Krisis Global Bagi Rakyat Khususnya Petani Sawit

Pemerintah Indonesia hari ini tidak mampu mengurus semua persoalan rakyat,
karena watak rezim hari ini yang mengabdikan dirinya untuk kepentingan
pemodal. Ini ditandai dengan berbagai kebijakan yang sangat pro modal. Sejak
tahun 2000 sektor industri minyak sawit sangat diminati oleh pasar dunia
karena kebutahan komsusmsi bahan pangan dan kosmetik selain itu alternative
pengunaan bahan bakar nabati (biofuel) mendorong naiknya harga CPO dunia
sehingga dianggap sanggat menguntungkan bagi devisa Negara melaui eksport
CPO yang sangat mengiurkan, Devisa dari industri minyak sawit pada tahun
2006 menurut komisi minyak sawit Indonesia berada pada urutan nomor 2 pada
eksport non migas sektor pertanian dengan nilai ekspor komoditas perkebunan
2007 mencapai US$ 12,3 miliar (Rp 115,6 triliun) atau naik 21,5 persen
dibandingkan 2006 yang mencapai US$ 10,11 miliar (Rp 95 miliar). Angka
ekspor itu telah melampaui target sejak Oktober 2007 yang mencapai US$ 11,25
miliar (Rp 105,7 triliun).

Melihat peluang tersebut kemudian pemerintah menargetkan pembukaan
perkebunan sawit hingga 20 juta ha yang tersebar hampir disetiap propinsi di
Indonesia. Pada tahun 2007 kebun yang sudah dibuka adalah 7,4 juta ha dan
produksi CPO yang dihasilkan mencapai 17,5 juta ton menghantarkan Indonesia
sebagai produsen terbesar minyak sawit mengalahkan Malaysia. Ambisi tersebut
harus dibayar dengan terjadinya konflik dimana-mana akibat keserakahan antar
pemodal dan birokrasi dalam mencari keuntungan, konflik sosial terutama
konflik tanah meningkat berbanding lurus dengan jumlah luasan pembukaan
perkebunan. Lokasi ijin yang diberikan tidak memperhatikan daya dukung
ekologi sehingga terjadinya konversi hutan besar-besaran, asap dan banjir
sudah merupakan bencana yang sering ditemui hampir disetiap tahun. Pada
Tahun 2003 sampai 2004 saja luas lahan pertanian menyusut 703.869 hektar
dari 8.400.030 hektar menjadi 7.696.161 hektar, mengakibatkan kerawanan
pangan dibeberapa daerah ditengarai pembukaan perkebunan sawit juga ikut
andil dalam hal ini.

Disisi lain memang keuntungan dapat diperoleh karena semakin meningkatnya
harga TBS (Fresh Fruit Brunch) ditingkat petani sawit disebabkan permintaan
pasar yang besar. Sejak tahun 2000 sampai tahun 2007 harga TBS melonjak
tajam dari harga Rp 400-600/ kg mencapai hingga angka Rp 2000/ kg. Petani
sawit ikut merasakan nikmatnya harga ini dan mendorong mereka untuk terlibat
dalam perkebunan sawit, bahkan mereka berani untuk mengkonversikan kebun
karet dan lahan pangan untuk dijadikan kebun sawit dengan dibantu oleh
pemerintah melalui kredit perbankan yang sesunguhnya "keblinger" karena
topangan mikro ekonomi yang lemah. Misalnya saja petani tidak diberikan
penyuluhan soal keahlian budidaya tanaman sawit untuk meningkatkan
produktivitasnya sehingga mereka cenderung menambah ekspansi lahan, justru
sarana produksi terpangkas dengan meningkatnya harga pupuk dan pestisida
yang sangat sulit didapatkan oleh petani, sementara untuk angkutan mereka
berharap pada angkutan perusahaan padahal TBS harus diangkut sampai ke
pabrik milik perusahaan 1 kali 24 jam, selebihnya harga akan menurun karena
rendeman minyak sawitnya akan berkurang. Akibatnya petani sawit harus
bergantung kepada perusahaan dan dijerat utang ditengah inflasi yang
semakin meninggi. Hantaman telak terjadi ketika krisis yang terjadi di
Amerika mempengaruhi seluruh perekonomian dunia yang mengakibatkan resesi
dan pasti akan menghantam pasar eksport yang berbasikan komoditas dimana
konsumen akan melakukan penundaan pembelian atau terpuruk karena daya
belinya menurun akibat biaya produksi yang meninggi dikarenakan angka
inflasi yang besar.

Dampak langsung ke petani sawit atas krisis ekonomi global ini mengakibatkan
permintaan minyak sawit dunia menurun, sehingga industri minyak sawit di
Indonesia harus dikurangi untuk mengimbangi suplay atas permintaan minyak
sawit yang menurun. Disisi lain turunnya permintaan minyak sawit berakibat
turunnya harga minyak sawit karena daya beli dan permintaan yang menurun,
artinya perusahaan tidak mau membeli TBS dari petani untuk menjaga supply
mereka cenderung lebih mengutamakan TBS yang berasal dari kebun inti mereka.
Ini mengakibatkan harga TBS di tingkat petani langsung terjun bebas.

Korban yang paling dirugikan dalam hal ini tentunya adalah petani sawit itu
sendiri, padahal klaim pemerintah dari total luasan kebun sawit 2,6 juta
merupakan kebun rakyat yang mempekerjakan 4,5 juta KK petani sawit disektor
ini. Setelah mereka bisa sedikit menikmati manisnya minyak sawit, hari ini
mereka terpuruk pada level yang terendah dengan harga TBS untuk petani
plasma pada bulan oktober dibawah Rp. 1060 / kg (kalbar) di Rp. 700 (kaltim)
Rp.800 (Jambi) itu tergantung umur tanam sawitnya[2], sementara bagi petani
swadaya yang tidak bisa dilindungi oleh aksi tengkulak sangat parah dimana
harga TBS hanya berkisar pada harga Rp 400-600 / kg bahkan salah satu
Kabupaten di Propinsi jambi TBS hanya dihargai Rp. 80/kg. padahal
berdasarkan data harga eksport dari kantor pemasaran bersama (joint market
office) PT. Perkebunan Nusantara harga komoditas eksport sawit update pada
tgl 20 oktober 2008 untuk sawit lokal masih berkisar pada RP 4211/ kg
sementara untuk sawit eksport Rp.490/ kg.

Sangat ironis dalam kondisi ini mereka tetap harus menanggung biaya kredit
diperbankan dengan bungga yang ikut meningkat juga (plasma), sementara untuk
memenuhi kebutuhan pangan tidak ada lagi tanah untuk menghasilkan akibat
sudah dikonversi menjadi sawit sehingga harus membeli. Bagaimana mereka
bisa bertahan ditengah inflasi yang sangat tinggi hari ini ?? akibatnya
dijambi dilaporkan ada petani yang bunuh diri akibat tidak mampu menahan
beban hidup, dilaporkan juga di Kabupaten Merangin banyak yang masuk rumah
sakit jiwa akibat stres dan kebanyakan berasal dari petani kelapa sawit.

Ketidakmampuan Rezim Dalam Mengurus Kekayaan Alam Dan Ekonomi Rakyat

Fenomena tersebut sesungguhnya bisa diantisipasi apabila kemauan dan
dedikasi yang tinggi untuk mensejahterakan rakyat ada pada nurani pimpinan
negeri ini. Platform ekonomi yang tidak bergantung pada eksport dan
diarahkan untuk pemenuhan dalam negeri seharusnya menjadi tumpuan utama.
Kondisi objektif Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam
namun penduduknya miskin, itu diakibatkan sumber-sumber fital rakyat telah
dikuasai oleh investor asing, semisal Freeport di papua, Exxon di aceh,
Aqua, Newmont dll. Pemerintah selalu saja sesumbar dan berdalih dengan teori
dan angka-angka statistik tanpa pernah melihat situasi ril yang terjadi pada
rakyatnya semisal petani sawit yang bunuh diri dijambi akibat menurun harga
TBS. Waktu krisis finansial terjadi di Amerika pada juli 2007 mulai
menandakan terjadinya krisis global, pemerintah Indonesia sesumbar bahwa
fundamentalis ekonomi makro Indonesai masih kuat. Bank Indonesia justru
mengatakan bahwa perlambatan perekonomian global yang ada di AS dan Eropa
tidak serta merta akan menurunkan ekspor barang Indonesia. Kenyataan
berbalik menjungkirbalikan semuanya, gejolak ekonomi global berdampak
langsung kepada perekonomian di Indonesia karena jika ekonomi AS melemah,
kinerja ekspor nasional akan terganggu, karena jika permintaan luar negeri
berkurang, industri akan melakukan penyesuaian antara lain mengurangi
produksi. Jika produksi dikurangi, tenaga kerja pun otomatis akan dikurangi
dan akibatnya pengangguran akan meningkat dan angka kemiskinan melonjak
karena kehilangan sumber produksi. Artinya, jika AS sakit, Indonesia terkena
langsung getahnya, rakyatlah yang menderita termasuk petani sawit dalam
sektor industri minyak sawit yang bergantung pada eksport.

Selain itu pasar finasial (saham) juga sangat terpengaruh oleh krisis
keuangan Amerika, sebab perputaran uang dipasar finansial -baik saham maupun
valas masih didominasai oleh aliran dana dari luar negeri, termasuk beberapa
perusahaan industri minyak sawit yang masuk dalam pasar saham ini dalam
Indeks Saham Gabungan (ISG). Pasar finansial merupakan dimana uang panas
"hot maney" bercokol. Artinya uang dalam pasar finansial bisa tiba-tiba
pergi dan bisa berdampak pada nilai tukar Rupiah. Bulan oktober 2008 nilai
tukar Rupiah bahkan anjlok hingga angka Rp 11.700 terhadap mata uang dolar
Amerika. Hal tersebut terjadi karena pasokan dollar dalam negeri menurun
akibat meningkatnya permintaan terhadap dollar. Hal ini wajar karena
kepercayaan terhadap mata uang dollar Amerika lebih besar dari pada mata
uang Rupiah sehingga orang lebih cenderung menukar mata uang dollar dalam
pasar finansial. Kondisi ini sangat ironis dengan pernyataan pemerintah
bahwa kekuatan perekonomian Indonesia masih kuat tapi justru masyarakat
tidak percaya terhadap Rupiah bahkan lebih percaya mata uang dollar Amerika
yang lagi mengalami krisis. Apa yang sebenarnya terjadi ? Tidak lain tidak
bukan karena uang tidak pernah mengenal nasionalisme, dimana menguntungkan
disitu dia akan bertengger.

Disisi lain akibat melemahnya Rupiah, nilai kredit perbankan menjadi lebih
tinggi dan berpengaruh langsung pada keuangan perusahaan dalam membayar
kredit apalagi perusahaan yang bersandar pada bahan baku import yang harus
dibeli dengan mata uang dollar. Akibatnya sector industri dalam negeri
mengalami pukulan dan akan meningkatkan pengangguran karena biaya produksi
meningkat dan akhirnya berujung pada kemiskinan, lagi-lagi rakyat yang
menderita.

Ketika krisis semakin jauh mempengaruhi ekonomi Indonesia pemerintah
kemudian panik dan membuat kebijakan yang tergesa-gesa tanpa antispasi sejak
awal. Pemerintah SBY -JK kemudian membuat 10 langkah yang harus ditempuh
untuk menghadapi krisis keuangan Amerika Serikat agar tidak memberikan
pengaruh buruk terhadap perekonomian Indonesia yang terkesan euphoria
ditengah inflasi yang sudah meninggi dan tingkat kepercayaan masyarakat yang
lemah terhadap pemerintah dan nilai tukar Rupiah yang sudah mencapai angka
Rp.11.000. Indonesia kemudian ikut-ikutan mengikuti paket kebijakan "bail
out" Amerika yang sempat di tolak oleh DPR nya Amerika namun kemudian
disetujui oleh kongres Amerika yang memuat tiga hal yaitu : pengucuran dan
sebesar US $ 700 miliar untuk membeli utang kredit perumahan yang terkena
masalah, menaikan jaminan simpanan di Bank sebesar US $ 100.000 menjadi US $
250.000./orang dan membolehkan lembaga penjamin simpanan untuk meminjam dana
talangan sebesar apapun kepada negara. Perpu nomor 4 tahun 2008 diterbitkan
pemerintah untuk menjamin kesulitan likuiditas dan persoalan perbankan dalam
menghadapi krisis juga dadakan diterbitkan. Perusahan milik Pemerintah
kemudian diperintahkan untuk membeli kembali (buyback) saham-saham BUMN yang
diparkir diluar negeri untuk menjaga krisis jatuhnya Rupiah, sangat ironis
dengan gembar-gembor privatisasi BUMN yang sebelumnya digaungkan oleh
pemerintah. Selain itu juga BI menaikan jaminan tabungan hingga mencapai 2
miliar rupiah tentunya bagi pemodal dan orang kaya, sementara petani sawit
harus berusaha mencari penghasilan tambahan untuk melunasi cicilan kredit
diperbankan.

Lagi -lagi rakyat miskin dikorbankan untuk menjaga stabilitas pertumbuhan
ekonomi. Kenyataan dilapangan ditingkat rakyat kecil sama sekali tidak
tersentuh dengan paket kebijakan ini malah memberi intensif bagi orang kaya
situan kapitalis yang akan semakin menghisap darah buruh dan tani di negeri
ini, termasuk petani sawit.


[1] Imprealisme merupakan tahapan tertinggi kapitalisme monopoli di dunia

[2] Harga sawit untuk plasma ditentukam melaui perhitungan angka Indeks-K
yang di terbitkan oleh Gubernur berdasarkan kepmenhutbun NOMOR :
627/Kpts-II/ 1998. Namun harga tersebut tidak diterima penuh oleh petani
karena masih dipotong berbagai komponen sehingga yang diterima petani bisa
setengah dari harga TBS tersebut.

Oleh : A.Rompas (sob)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar