Senin, 06 September 2010

Petani Makin Miskin. Produksi Naik, Pendapatan Riil Tidak Meningkat

Pendapatan riil petani tidak juga meningkat meski produksi pangan terus meningkat. Padahal, setiap tahun, 25 juta rumah tangga petani memproduksi pangan, meliputi padi, jagung, kedelai, ubi kayu, dan ubi jalar, yang nilainya Rp 258,2 triliun.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, nilai tukar petani terus merosot. Pada tahun 1976, nilai tukar petani 113, pada 1979 dan 1989 bahkan mencapai angka tertinggi, yakni 117. Namun, pada 1993 merosot menjadi 95 dan tahun 2009 nilai tukar petani bulanan tertinggi hanya 101.
Penguasaan lahan petani juga makin sempit. Jumlah petani yang berubah status menjadi buruh tani pun makin banyak karena tidak lagi memiliki lahan sendiri.
Sumitra (62), petani Desa Baiawak, Kecamatan Kertajati, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, misalnya, kini menggarap lahan yang disewanya. Lahan pertanian seluas 0,5 hektar yang pernah dimilikinya telah terjual.
”Sewa lahan terus naik, belum lagi biaya pupuk, obat, upah buruh, dan bayar pompa. Boro-boro beli barang, bisa makan cukup dan tak punya utang saja sudah sangat bersyukur,” katanya, akhir pekan lalu di Majalengka.
Jumlah petani gurem atau dengan kepemilikan lahan kurang dari 0,5 hektar pada sensus pertanian tahun 1993 mencapai 10,69 juta rumah tangga petani. Namun, setahun kemudian, jumlahnya naik 2,6 juta rumah tangga petani menjadi 13,29 juta rumah tangga petani.
Menurut Guru Besar Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor Endriatmo Soetarto, jumlah petani yang ”lapar” akan tanah makin banyak. Di Mahkamah Agung saat ini ada sekitar 7.000 kasus agraria.
Untuk itu, harus diberikan akses terhadap lahan kepada petani melalui implementasi reforma agraria. Untuk memberikan jaminan lahan sebagai sumber kesejahteraan petani, kata Endriatmo, perlu dukungan keuangan, teknologi, dan pendampingan agar petani tahu bagaimana memanfaatkan tanah untuk kesejahteraan mereka sehingga tidak berpindah ke pemilik modal.
Endriatmo meyakini, pemberian akses lahan bagi petani disertai dukungan pengelolaan akan signifikan meningkatkan kesejahteraan petani.
Menurut Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian sekaligus Guru Besar Ekonomi Pertanian Universitas Jember Rudi Wibowo, peningkatan produksi pangan tidak mampu memberikan peningkatan pendapatan riil yang memadai bagi aktor utama peningkatan produksi pangan, yaitu petani.
Ini karena kebijakan pangan nasional terjebak dalam peningkatan produksi yang membabi buta. Peluang investasi usaha budidaya pangan diberikan kepada swasta nasional dan multinasional, yang selama ini menggarap sarana produksi yang menjadi kunci penguasaan pangan nasional.
Rudi menegaskan, kesejahteraan petani terabaikan akibat ketidakjelasan arah pengembangan teknologi dan tidak konsistennya kebijakan. Sementara itu, kelembagaan yang berkenaan dengan petani dan pertanian cenderung makin tergerus.
Guru Besar Emeritus Institut Pertanian Bogor, Bungaran Saragih, dalam bukunya Agribisnis, Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian, menyebutkan, politik pertanian pada masa lalu yang berorientasi pada peningkatan produksi ”menjebak” petani pada kegiatan usaha tani yang nilai tambahnya kecil.
Sementara itu, kegiatan ekonomi yang memiliki nilai tambah besar, seperti perdagangan, pengadaan sarana produksi pertanian, serta kegiatan pengolahan hasil dan perdagangan produk pertanian (off farm) diserahkan kepada yang bukan petani.
Struktur usaha tani yang disparsial, asimetris, dan cenderung terdistorsi menimbulkan masalah transmisi, seperti transmisi harga tidak simetris.
Penurunan harga di tingkat konsumen langsung ditransmisikan dengan cepat dan sempurna ke petani. Namun, kenaikan harga ditransmisikan secara lambat dan tidak sempurna ke petani.
Persoalan lain yang juga mesti dihadapi petani adalah mudah rusaknya komoditas pertanian. Akibatnya, petani ”mudah menyerah” pada kehendak pedagang, terutama soal harga semata agar produknya segera terjual sebelum rusak. Ini yang membuat pendapatan petani tak juga meningkat secara riil.
Riset Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama Kabupaten Jombang di 21 kecamatan menyebutkan, petani tak punya daya tawar. Penyediaan sarana dan harga hasil panen ditentukan oleh pemilik modal (pedagang).
Dengan kata lain, semakin tinggi produktivitas petani, semakin tinggi nilai tambah yang diterima pelaku dan kegiatan usaha di luar usaha tani.
Kebijakan elitis
Ketimpangan keadaan itu, menurut Guru Besar Sosial Ekonomi Industri Pertanian Universitas Gadjah Mada M Maksum, karena kebijakan pertanian pada umumnya ditentukan sangat elitis.
Petani, kata Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan Winarno Tohir, masih sulit mengakses permodalan dan belum mendapat dukungan teknologi pascapanen yang memadai.
Hal itu pula yang dihadapi petani di Jombang. Panen musim hujan tahun ini, menurut Wakil Kepala Bulog Subdivre Surabaya Selatan Awaludin Iqbal, sebanyak 417 ton dari 825 ton beras petani tak memenuhi syarat. Jumlah ini dua kali lipat dibandingkan dengan tahun 2009.
Hal ini antara lain karena penanganan pascapanen yang kurang baik akibat tidak adanya sarana dan prasaran pascapanen yang memadai. ”Saya jual saja gabah yang masih agak basah ke tengkulak Rp 1.900 per kilogram, yang penting ada yang beli,” kata Siman, petani Desa Miyagan, Kecamatan Mojoagung, Jombang.
Padahal, Bulog membeli gabah kering panen di tingkat petani Rp 2.640 per kilogram, dengan kadar air maksimum 25 persen dan hampa 20 persen.
Menguntungkan industri
Rencana pemerintah mengembangkan kawasan pangan (food estate) juga tidak menjamin peningkatan kesejahteraan petani. Menurut
Guru Besar Teknologi Industri Pertanian IPB E Gumbira Said, pengembangan usaha budidaya oleh pengusaha, seperti food estate, hanya menguntungkan industri besar dan perolehan devisa negara. Tidak berimbas nyata ke petani.
Rudi menegaskan, terkait pengembangan kawasan pangan, pemerintah perlu mempertimbangkan keberadaan petani.
”Kemitraan mutualistik antara petani dan badan usaha milik negara atau daerah lebih ideal. Jika tidak, peminggiran peran petani akan terjadi secara perlahan,” katanya.
Menurut Rudi, perlu dukungan kebijakan makro, baik moneter maupun fiskal, untuk mendorong dan melindungi pertanian. Hal itu terutama berupa kebijakan yang mendorong keterkaitan antara urban dan rural area melalui kegiatan produktif sektor usaha mikro kecil dan menengah.
”Ini penting tidak saja untuk mendorong pengembangan agribisnis dan kemandirian pangan, tetapi sekaligus mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran,” ujar Rudi.
Peningkatan pengeluaran pemerintah, menurut Rudi, seharusnya tidak hanya difokuskan pada peningkatan total permintaan, tetapi juga untuk meningkatkan total suplai, seperti pengembangan infrastruktur pedesaan, jaringan irigasi, pasar produk pertanian, meningkatkan peran penelitian dan pengembangan, serta reforma agraria. (MAS/THT/SIN) Kompas, Senin, 26 April 2010
 NASIB PETANI. Adim Pun “Terjajah” di Lahan Sendiri
Oleh Edi Wisra
Puluhan tahun membanting tulang di sawah, nasib Adim (72) tak kunjung membaik. Hasil panen semakin tidak mencukupi kebutuhan hidup. Satu bahu (500 bata, 1 bata > 14 meter persegi) lahan warisan orangtua bertahan, tetapi tidak dengan kesejahteraan Adim dan keluarganya.
Tubuh Adim yang mulai sakit-sakitan harus dipaksa menjalani rutinitas pascapanen, menjemur padi. Dalam terik siang di jalan antardesa di Desa Sukamekar, Kecamatan Jatisari, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, Jumat (23/4), Adim jongkok di atas selembar terpal biru meratakan gabah dengan tangan.
Gabah itu sisa panen musim ini. Hampir 90 persen dari sekitar 5 ton gabah kering panen (GKP) hasil panennya terjual kepada tengkulak seharga Rp 2.550 per kilogram GKP. Dari sekitar 0,5 ton sisa panen itu, Adim dan Imi (65), istrinya, memenuhi kebutuhan pangan hingga panen musim depan.
Secara matematis, dengan gabah terjual 4,5 ton GKP dan harga Rp 2.550 per kg, Adim seharusnya mengantongi pendapatan Rp 11,4 juta pada musim ini. Namun, sekitar Rp 3,3 juta di antaranya telah dibayarkan ke kios dan rentenir untuk menutup utang pupuk, pestisida, dan ongkos bajak. Uang Rp 3 juta lainnya digunakannya untuk berobat ke rumah sakit. Sisanya, Rp 5,1 juta, ia cadangkan untuk modal tanam dan simpanan keluarga.
Akan tetapi, tidak mudah bagi Adim mengatur sisa uangnya hingga empat bulan ke depan. Hidup serumah dengan keluarga putra pertamanya, Imin (38), Adim harus berbagi pendapatan untuk memenuhi kebutuhan sekolah cucu, kebutuhan dapur setiap hari, dan berbagai keperluan lain. Seperti musim-musim sebelumnya, sisa uang sering kali tak mencukupi.
Tidak seperti dulu
Sejak tahun 1970-an, Adim mengelola 1 bahu (sekitar 7.000 meter persegi) sawah warisan orangtuanya, almarhum Salim dan Kainem. Pada tahun 1980-an, ia memiliki keuntungan dari bertani dan mampu membeli sawah 0,5 bahu. Luas itu bertahan hingga kini.
”Tidak seperti dulu, hasil panen sekarang jangankan untuk membeli sawah lagi, untuk membayar utang modal dan memenuhi kebutuhan sehari-hari saja tak cukup. Pupuk, obat, ongkos olah lahan dan tanam semakin mahal saja,” ujarnya.
Selain membeli sawah, kenang Adim, ia terkadang membeli perhiasan bagi Imi seusai panen. ”Dulu (tahun 1980-an), 0,5 kuintal gabah dapat ditukar dengan 1 gram emas, sekarang butuh 1 kuintal gabah lebih (asumsi harga emas saat ini Rp 320.000 per gram),” tutur Imi.
Kenaikan harga pupuk per 9 April 2010 memaksa Adim berpikir untuk meminjam modal lagi. Sebab, sisa pendapatan telah ia cadangkan untuk kebutuhan sehari-hari. Seperti musim-musim sebelumnya, ia akan membayar utangnya setelah panen.
”Dulu mengolah sawah dengan cangkul dan bajak kerbau, memupuk dengan kotoran dari kandang dan sisa daun dari kebun, serta tidak perlu membeli pestisida sehingga ongkos tanam murah. Sekarang, apa-apa harus dengan uang, jadinya repot kalau modal terbatas,” kata Adim.
Adim sedikitnya harus mengeluarkan dana Rp 1,5 juta pada awal musim, antara lain Rp 500.000 untuk menyewa traktor, Rp 500.000 untuk membayar upah buruh tanam, dan Rp 500.000 untuk pemupukan pertama. Selebihnya, ia membutuhkan modal untuk pemupukan kedua dan membeli pestisida hingga masa panen tiba.
Meski punya lahan sendiri, Adim nyatanya belum ”merdeka”. Berada di posisi sebagai produsen pangan, nasib Adim tetap saja miskin. Jika kebutuhan hidup keluarganya terus mendesaknya, bukan tidak mungkin Adim menempuh jurus terakhir, menjual lahan!
Jalan terakhir ini sudah ditempuh beberapa petani tetangganya di Kampung Kalenjeruk, Desa Sukamekar, yang terpaksa menjual sawah untuk biaya sekolah anak, berobat, dan memenuhi kebutuhan lain.
Sawah-sawah di sekitar Adim kini tak lagi milik warga desa. Sebagian telah beralih ke pemodal yang tinggal di Bekasi, Bandung, atau Jakarta. Beberapa warga desanya kini menjadi kuli di bekas lahannya sendiri. Mereka menanam padi dengan sistem maro (bagi hasil) atau sewa.
Dengan ongkos produksi yang terus naik dan keuntungan yang semakin kecil porsinya dibandingkan dengan modal, Adim seperti terjajah di lahannya sendiri. Ia terbelenggu oleh harga-harga kebutuhan hidup.  Kompas, Senin, 26 April 2010
Hati Nurani untuk Petani
Oleh Eidi Wisra
Empat hari berturut-turut (19-22/4) harian ini bersimpati pada para petani gurem (peasants, bukan farmers). Empati mendalam juga dituliskan di tajuk rencananya (20/4). Hal ini wajar karena umumnya para petani kita miskin meskipun mereka rajin dan bekerja sangat keras. Kerja mereka di sawah 10 sampai 20 kali lebih berat dibandingkan dengan rekannya di ladang gandum.
Diperkirakan beban seorang petani padi di Asia sekitar 3.000 jam kerja setiap tahunnya (Gladwell, 2009). Dalam buku Outliers, Gladwell menulis, tidak seorang pun yang bangun sebelum subuh selama 360 hari dalam setahun gagal membuat keluarganya kaya. Lalu, bagaimana petani kita? Meskipun telah memberi makan penduduk Indonesia dan bekerja sama kerasnya seperti saudaranya di Asia, mereka tetap saja miskin.
Mengapa demikian? Menurut Mohammad Yunus, pemenang Nobel Ekonomi (2006), mereka miskin karena tidak memperoleh hak sesungguhnya atas hasil kerjanya. Kemiskinan terjadi karena tidak diatasi dengan benar. Kemiskinan sering terjadi karena kita gagal menciptakan kerangka kerja teoretis, lembaga, dan kebijakan untuk mendukung kemampuan manusia. Mereka juga miskin karena tidak memiliki modal apa pun kecuali tenaganya.
Tidak ada yang memberi mereka akses tambahan modal, lahan, pengetahuan, kredit, dan pasar. Bung Hatta dan Bung Karno juga menyatakan hal senada soal kemiskinan. Kemiskinan yang masif jumlahnya besar dan sulit diatasi dalam suatu negeri yang kaya sumber alamnya hanya bisa terjadi karena kesalahan sistem ekonomi, politik, dan hukum (termasuk pembiaran korupsi).
Memiskinkan petani
Luasan lahan kecil dan kualitas sumber daya manusia (SDM) rendah tidak boleh dijadikan dalih untuk terus membiarkan petani miskin. Justru karena kondisi itulah negara Indonesia didirikan, pemerintahan dipilih, dan kementerian dibentuk. Meskipun mereka berlahan sempit, tetap harus hidup layak. Seperti diulas Gladwell, desa di China berpenduduk 1.500 orang bisa menghidupi dirinya dengan lahan seluas hanya 180 hektar (1.200 meter per kapita atau 0,3 hektar per keluarga, ekuivalen dengan lahan petani di Pulau Jawa).
Mengapa negara lain bisa memakmurkan petaninya? Petani makmur karena tugas petani dan keluarganya hanya bertani. Pemerintah membangun jalan raya dan jalan desa, menyediakan benih terbaik, pupuk dan pestisida/herbisida yang cocok, irigasi yang tidak pernah kering, kredit berbunga rendah, mesin pertanian yang murah dan bisa dicicil. Selain itu, pemerintah juga menjamin kegagalan panen dengan asuransi, harga jual yang menguntungkan dan membatasi pasar dalam negerinya dari produk asing.
Intinya, petani dan pertanian dilindungi dan tidak diserahkan pada mekanisme pasar bebas yang sering tidak bisa dikendalikan. Bahkan, di negara tertentu, petani bisa menikmati rumah, listrik, air bersih murah, serta pendidikan terbaik yang benar-benar gratis dan dekat permukimannya. Ada keberpihakan, ada pembelaan, ada kebijakan, dan ada hati nurani untuk petaninya.
Hal itu dilakukan bukan karena pemerintah kasihan kepada para petaninya. Ketersediaan pangan (food), pakan (feed), sandang-papan (fibre), bahan bakar (fuel), serta bahan obat yang berkesinambungan dari petani itu sangat penting untuk menjamin kualitas (jiwa, raga, dan kecerdasan) penduduk dan generasi mendatang. Dengan kebijakan yang tepat, kebutuhan pangan, sandang, papan, bahan bakar, dan obat-obatan dapat dihasilkan oleh petani dengan harga sangat bersaing.
Saat ini disadari atau tidak petani kurang diperhatikan. Nilai tukar petani kita cenderung makin turun. Hal ini disebabkan harga hasil pertanian serta perikanan primer, seperti padi, jagung, tebu, kedelai, singkong, telur, susu, ayam, tandan buah sawit, biji cokelat, teh, kopi, cengkeh, tembakau, sayur, buah, dan garam rendah (bahkan komoditas beras dan gula harganya dibuat rendah untuk menjaga inflasi). Harga hasil industri (minyak goreng, mi, tempe, tahu, kecap, pupuk, traktor, benih, pestisida, listrik, emas, sepeda motor, mobil, barang elektronik, solar, bensin, dan gas) dibiarkan berpatokan pada nilai dollar Amerika Serikat. Ketika rupiah melemah, harga hasil industri naik dan petani semakin miskin. Dibandingkan dengan tahun 1995 (saat nilai tukar rupiah Rp 1.800 per dollar AS), petani dan rakyat Indonesia tahun 2010 (nilai tukar rupiah Rp 9.000 per dollar AS) telah mengalami proses pemiskinan lima kali lipat.
Infrastruktur pertanian dan pedesaan (jalan, jembatan, pelabuhan, irigasi, listrik, dan telekomunikasi) yang buruk juga menjadi penyebab rendahnya daya saing petani. Hasil pertanian menjadi mahal dan tidak kompetitif. Demikian juga lembaga pembiayaan bank dan nonbank yang tidak efisien (bunga pinjaman lebih dari 15 persen, sementara bank di negara lain kurang dari 6 persen) harus dibiayai petani. Selain bunganya mahal, petani (40 persen dari penduduk Indonesia) sulit mendapat kredit (kurang dari 10 persen dari seluruh kredit yang disalurkan).
Paradoks
Kebijakan perdagangan internasional yang tidak adil sering merugikan petani. Buah, sayur, dan daging impor berkualitas rendah serta tidak layak makan (tidak halal, residu obat, dan pestisida tinggi) sering dibiarkan masuk ke pasar, supermarket, dan ke desa. Pemerintah tidak berani melindungi petani dengan menaikkan bea impor (meskipun Organisasi Perdagangan Dunia/WTO mengizinkan) dan melarang impor hasil pertanian yang menurut ketentuan tidak boleh masuk.
Sebaliknya, pemerintah justru menetapkan bea ekspor (biji kakao) yang merugikan petani. Kebijakan lahan dan investasi juga lebih memihak pengusaha besar dan asing. Ketika petani menganggur, kesulitan modal dan lahan, pemerintah justru membuka investasi asing berproduksi pangan dan menyediakan lahan untuk food estate. Paradoks ini berpotensi menimbulkan pengangguran baru dan pemiskinan petani.
Munculnya rancangan peraturan (pendaftaran usaha tani) yang mengabaikan petani kecil, tetapi menguntungkan perusahaan besar dan asing telah menimbulkan protes dari berbagai kalangan. Kini sudah saatnya pemerintah kembali memenuhi janji yang dilontarkan lebih dari lima tahun lalu dan selalu didengungkan.
Janji itu adalah pro poor (menurunkan jumlah orang miskin), pro job (membuka lapangan kerja), dan pro growth (meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas). Seperti kata Joseph Stiglitz (pemenang Nobel Ekonomi 2001), pembangunan bukan hanya membantu sekelompok orang menjadi lebih kaya atau hanya menguntungkan kalangan elitenya.
Pembangunan bukanlah memasukkan Prada, Benetton, Ralph Lauren, dan Louis Vuitton untuk masyarakat kaya di kota, sementara membiarkan kaum miskin di pedesaan menderita. Pembangunan adalah upaya mentransformasikan rakyat untuk meningkatkan kehidupan kaum miskin, membantu agar setiap orang bisa memiliki kesempatan berhasil, akses pelayanan kesehatan dan pendidikan yang lebih baik (Stiglitz, 2002).

Edi Wisra 
06 SEPTEMBER 2010